Saturday 7 March 2015

Tidak Ada Senja di Ora

Timur Indonesia selalu menarik. Mengawali 2015 – sebenarnya terlambat disebut ‘mengawali’ – saya meluncur ke Pulau Seram bersama enam kawan. Rencana sejak akhir tahun lalu itu akhirnya terjadi akhir Februari silam.
Tujuan utama saya Pantai Ora, yang digadang-gadang banyak orang di media sosial sebagai The Little Maldives-nya Indonesia. Tiba di Bandara Pattimura, kami segera menuju Pelabuhan Tulehu. Satu jam perjalanan mobil.
Harus segera karena kapal feri yang akan mengantar kami ke Pulau Seram berangkat dari Tulehu jam 9 pagi, sedangkan kami tiba di bandara jam 7. Di atas feri Express Cantika 88, saya memilih duduk di balkon kapal. Menikmati segarnya angin Ambon.   
Dua jam perjalanan menyusuri laut Ambon, tibalah kami di Pelabuhan Amahai, pelabuhan utama di Kota Masohi, Pulau Seram. Hiruk-pikuk meruak di tengah gigitan panas matahari. Dari Amahai kami melanjutkan perjalanan ke Desa Saleman. Sekira tiga jam perjalanan mobil yang kami tumpangi membelah hutan.
Sebagian besar jalan aspal sudah mulus, tapi di beberapa bagian aspal mengeropos dan menimbulkan lubang cukup besar. Ada satu kali kami harus turun dari mobil yang akan berjuang melewati aspal setengah longsor.
Sepanjang jalan pak supir memutar lagu-lagu pop daerah Ambon. Ada satu penyanyi yang saya ingat namanya, Nada Latuharhary. Suaranya indah, wajah cantik, dan bodinya aduhai.
Lagu-lagu pop daerah Ambon akhirnya mengantarkan kami hingga dermaga di Desa Saleman. Dari dermaga kami melanjutkan perjalanan menggunakan perahu ramping yang disebut jungkung. Jauh di depan mata rumah laut di pantai Ora terlihat sudah, layaknya foto yang dipajang di Google image dan media sosial.
Namanya Ora Beach Eco Resort. Ada tujuh rumah laut di sana. Paling ujung ukurannya lebih besar, itu rumah yang kami tempati selama dua malam. Di belakang rumah ada sepetak laut yang bisa jadi tempat mandi-mandi sore.
Saya senang duduk di teras rumah laut kala sore. Duduk selonjor kaki, pandangi laut tenang dan langit yang tidak dikuasai senja. Cantik.






  





Wednesday 3 December 2014

Betapa...

Satu sore kamu kirimkan pesan bahwa kamu mau menyumbangkan usia hidupmu ke saya supaya hidup saya panjang. Agar saya dapat berkeliling ke banyak tempat dan merasakan surga dunia. Supaya saya bisa bernafas panjang menikmati kehidupan.
Padahal, waktu yang kamu habiskan bertahun-tahun terakhir ini hanya berisi strategi untuk menguasai saya. Tega benar kamu mau memberikan waktu kuasamu itu untuk saya.  
Kamu memang tidak pernah menghargai dirimu sebagai dirimu, seperti kamu tidak pernah menghargai saya sebagai saya, saya sebagai manusia yang berkuasa atas diri saya.
Sedemikian teganya kamu mengirim ucapan selamat ulang tahun buat mama saya dan permintaan maaf kepada saya dan keluarga setelah kamu menyia-nyiakan saya sebagai manusia yang berkuasa atas diri saya.
Menyedihkannya kamu ketika kamu masih merasa punya kuasa atas diri saya padahal kita sudah berpisah rasa sejak setahun lalu. Tetiba kuasamu muncul lagi hanya karena saya bercerita punya kawan baru yang menyenangkan. Iya, kamu selalu merasa memiliki saya. Sekali lagi, memiliki.

Sungguh hebat rasa memilikimu itu sampai saya harus duduk di pojok ruangan ini terkenang lagi penguasaanmu kala itu. Betapa..   

Tuesday 21 October 2014

Instan

Pernah baca novel yang sinopsisnya menarik hati? Membacanya terburu-buru, pakai nafsu tinggi untuk dapat klimaks? Lantas, melahap ujung cerita dengan setumpuk fantasi yang ternyata tidak memuaskan hati karena rupanya jauh dari sinopsis? Itu menyakitkan.
Atau begini. Kelaparan setengah mati dan di depan mata cuma temukan indomi kuah pakai telur. Makanlah itu, lantas bersyukur karena perut tak lagi keroncongan dan tidak jadi mati. Tapi, itu cuma sesaat. Setelahnya, rasa perih muncul dan sedikit pening karena otak dimakan mecin. Pada akhirnya, itu menyakitkan.
Maka, baiklah saya simpulkan – meski prematur – bahwa segala sesuatu yang instan dilahap itu menyakitkan di akhir cerita.

Selamat siang untuk segala hal yang instan dan menyakitkan. Mungkin cerita-cerita seperti itu baiknya dibuang ke tempat sampah. Biar membusuk dan baunya tidak meruap ke mana-mana. 

Saturday 18 October 2014

Sabtu Senang

Petang hari. Saya duduk sesap kopi bersama seorang kawan di sebuah kedai di Cikini. Baru saja kami habiskan waktu di museum nasional, tepat di seberang halaman Monumen Nasional. Melihat arca Hindu berbagai rupa, dari Dewa Siwa, Wisnu, Indra, hingga penjaga pintu Mahakala dan Nandiswara.
Ini kali ketiga saya ke museum itu. Beda kawan, tapi sama yang dirasakan. Ingin hidup di masa prasejarah, melihat perupa mengukir arca. Di sebuah kelokan, saya dapati arca menhir dari Nusa Tenggara Timur. Arca ini dipercaya sebagai penolak bala.
Saya abadikan dalam ponsel itu arca. Ya, saya tertarik mengabadikannya karena arca itu berasal dari tanah nenek moyang saya, Nusa Tenggara Timur. Sayang, saya tidak lama habiskan waktu di sana untuk nikmati semua arca.


Kawan saya kelaparan. Daripada dia pingsan gegara menahan lapar, lebih baik kami pergi dari museum dan mencari makan. 
Ini Sabtu, hari libur besar buat saya. Saya ingin menghabiskan tumpukan keinginan saya di Sabtu. Hari besar yang tidak dapat saya nikmati dibandingkan hari lain dalam satu pekan.
Dan, sekarang saya duduk di kedai kopi, ditemani kawan dan secangkir kopi mandailing. Menyenangkan.


  

Monday 24 December 2012

cảm ơn, Hồ Chí Minh


Awalnya, keisengan belaka mendapati tiket promosi Air Asia, maskapai penerbangan yang kerap kasih harga murah tiket pesawat. Terbang dari Jakarta ke Ho Chi Minh City, Vietnam harganya Rp475.000. Karina, kawan kuliah saya, mengabari soal tiket itu. Dia tertarik membeli tiket, melepas sedikit carut-marut Jakarta, dan pesiar di negeri Paman Ho. Saya juga tertarik.
Namun, awal dari segala awal ketertarikan kami adalah sejarah negara itu. Dia pernah menganut Marxisme-Leninisme, menyimpan cerita perang Vietnam, hingga dihampiri militer Amerika Serikat yang berniat mencegah penyebaran komunisme.
Singkat kata, tiket promosi itu terbeli. Selanjutnya, kami mencari tiket terbang dari Jakarta ke Ho Chi Minh, juga Hanoi, dan memesan tempat inap ala backpacker. Yap, tema perjalanan ini backpacker, duit pas-pasan dan tekad besar. Karina jadi pahlawan di sini. Dia mencari penginapan di kawasan backpacker, memesan lewat kartu kreditnya, sampai mencari kartu kredit lain karena batas pemakaian kartu kreditnya habis. Komunikasi kami soal perjalanan itu via BBM dan satu kali pertemuan. Selang hari, tanggal itu datang. 6 Desember kami memulai perjalanan, terbang ke Ho Chi Minh.

Tempat inap pertama di Saigon Backpackers hostel, letaknya di District 1, Pham Ngu Lao. Harganya kalau tak salah ingat Rp80.000 per malam per orang. Dapat makan pagi pula. Makan pagi diiringi ibu yang entah siapa namanya mengupas telur puyuh.   




Mobil jip yang membawa Presiden Duong Van Minh dari Independence Palace ke Stasiun Radio Saigon. Di sana, 30 April 1975, dia mendeklarasikan penyerahan pemerintahan revolusioner.

Pembunuhan massal di desa My Lai. Foto yang diambil dari The Guardian ini dipajang di Reunification Palace.
Patung berkuda Jenderal Tran Nguyen Han. Letaknya di Distrik 1, tidak jauh dari Pham Ngu Lao, di seberang pasar Ben Thanh.

Patung berkuda Jenderal Tran Nguyen Han. Letaknya di Distrik 1, tidak jauh dari Pham Ngu Lao, di seberang pasar Ben Thanh.

Reunification Palace

Ruang latihan menembak di Reunification Palace

Koleksi kaki gajah asli di Reunification Palace

Koleksi tanduk, lantai 3 Reunification Palace

Reunification Palace

Mimbar Paman Ho di Reunification Palace
Reunification Palace. Kediaman presiden sekaligus penanda sejarah berakhirnya Perang Vietnam 1975. Banyak ruangan mewah di dalamnya.    



Semacam burung garuda, lambang Indonesia


 

yang segar di pasar Ben Thanh

Presiden pertama Ngo Dinh Diem


Pasar Ben Thanh, mesti siap-siap tawar harga

Saturday 15 September 2012

berbagi di taman suropati


Dua pekan lalu saya ke Taman Suropati di Menteng, Jakarta Pusat. Kali ini saya tidak berdua. Saya bawa empat kawan yang senang tertawa. Saya selalu suka duduk di taman ini. Bahkan, bagi saya ini tempat publik yang paling menyenangkan di Jakarta.
Bagaimana tidak? Setiap saya injakkan kaki ke taman ini, ada saja penyapa yang membuat saya benar-benar jadi manusia. Penyapa kali pertama adalah tukang kopi keliling. Dering sepedanya membahana menyambut saya, diiringi ucapan “kopi teh, panas dingin ada.” Kalau saya berjalan cari lahan duduk, pasti ada seorang tukang kopi mengikuti dari belakang sambil menggoes sepedanya. Dia berharap kopi tehnya dibeli.  
Penyapa kedua adalah tukang rokok keliling. Nah, biasanya manusia satu ini cuma selewat di depan muka saya, menawari rokok, lalu pergi. Jika rokok sudah habis, saya beli. Jika tidak, terimakasih saja.
Pohon rindang, si penyapa ketiga. Ah, makhluk satu itu.. saya suka pohon-pohon tinggi nan rindang di sana, selalu teduh dibuatnya.
Seperti itulah ketika saya bawa kawan-kawan saya yang suka tertawa. Namun, kali itu suasana agak berbeda. Sebab, ada sekelompok pemain kulintang senandungkan musik aduhai merdunya di tengah taman. Kebanyakan musik daerah yang mereka mainkan. Lupa saya judul-judulnya. Tapi, saat itu saya ikut bersenandung karena masih tersisa ingatan hafalan lagu-lagu semasa kecil dulu. Beberapa pengunjung taman ikut bergoyang saat musik mainkan Sajojo.

Sekitar lima jam kami di sana mengiringi gelap, walau tidak sampai habiskan malam. Bagi-bagi cerita, tertawa sana-sini, duduk bersila hingga tidur-tiduran. Pulang saya pastikan kami akan bersua lagi dua pekan mendatang di bawah pohon yang sama.

Friday 6 April 2012

balada husein dan rindu itu

Baru saja saya kirim SMS ke Pak Husein. Dia kawan saya, sekitar 40 tahun, tinggal di Pulau Kelapa, satu pulau di Kepulauan Seribu sana. Saya bilang mau main ke pulau. Dia balas SMS saya cepat, “sudah lupa dengan pulau ya?” Saya balas diawali tawa “hahaha.. tidaklah, pak. Rindu saya pada itu pulau.”

Dan, kami sepakat bertemu pekan depan.

Terakhir kali saya datang ke sana akhir Desember 2011, hampir masuk angin barat kata orang pulau. Saya berkenalan dengan Pak Husein karena tugas liputan saat saya di halaman agribisnis. Sebenarnya bukan tugas liputan dari kantor, tapi saya lolos dapat beasiswa liputan sebuah lembaga wartawan ternama di Indonesia. Saya kirim proposal tentang dampak perubahan iklim terhadap nelayan di Kepulauan Seribu, lolos, dapat dana liputan, dan saya pergi ke sana. Hitung-hitung, 4 kali saya ke sana, masing-masing tiap akhir pekan.

Perjumpaan saya dengan pak Husein terjadi ketika saya dirundung lemas belum dapat narasumber. Waktu itu, awal Desember, saya naik kapal dari Pulau Seribu ke Pulau Kelapa. Di atas kapal, duduk di kabinnya, seorang bapak memandangi saya agak lama. Dia buka tanya saya ke mana, saya jawab, dan mengalirlah percakapan.

Pak Husein nelayan sejak berusia 16 tahun. Seperti kebanyakan nelayan, dia sudah berkawan dengan laut sejak tangisnya pecah keluar dari kandungan. Ayahnya pelaut, sudah mengenalkan alam laut kepadanya sejak bocah. Sering dia temani ayahnya cari ikan di sekitar Pulau Kelapa. Dari ayahnya dan nelayan-nelayan lain dia belajar membaca angin dan langit. Setibanya di rumah, Husein kecil ikut bantu bersihkan ikan sisa tangkapan yang tidak dijual ke tengkulak.

Hari-harinya begitu hingga pertengahan 2011 hidupnya berubah. Pak Husein tidak hanya jadi nelayan, dia lakoni pula kuli dermaga di pulau-pulau yang baru bermunculan milik orang-orang kaya. Katanya, penghasilan dia lumayan besar ketimbang jadi nelayan. Saban hari dari nguli dia bisa peroleh Rp60.000. Sedangkan, dari melaut dia cuma bisa hasilkan Rp150.000, itu kalau dapat ikan selar 50 kg setelah dua hari terombang-ambing di laut. Seringkali tangkapannya kurang dari 50 kg.

Sampai Desember dia lakoni dua pekerjaan itu, sambil sesekali keliling ke pulau-pulau lain mengumpulkan fotokopi KTP warga untuk meloloskan seorang calon independen gubernur Jakarta. Kalau KTP sudah terkumpul banyak di tangan, dia bawa itu benda ke Jakarta dan menyerahkannya ke sekretariat. Bila ingatan saya benar, dari sebuah KTP dia dapat Rp1.000. Tak seberapa memang. Tapi, bagi Pak Husein itu bentuk bantuannya untuk menggolkan si kawan lama.

Kali terakhir bertemu Pak Husein Januari lalu. Kami obrol banyak hal menyenangkan di sebuah tempat ngopi di Jakarta Timur. Dia datang ke sana untuk sodorkan kumpulan fotokopi KTP sekaligus jenguk anak perempuannya yang kerja jadi tukang sapu di sekretariat.

Pak Husein ini suka bercerita lucu, kadang konyol sampai saya bingung ceritanya sungguh fakta atau rekaan belaka. Macam ini:

“Suatu hari saya melaut dengan seorang kawan dari Flores di sekitar Seribu. Mendadak angin kencang dan langit gelap. Perahu saya sampai terbalik dan menenggelamkan kami. Saya bisa berenang makanya saya tidak tenggelam. Waktu saya sudah di permukaan laut, kawan saya ini belum muncul kepalanya. Tapi saya yakin nanti kepalanya timbul karena orang tenggelam itu masuk dulu ke dalam air baru nanti muncul lagi di permukaan kemudian turun tenggelam. Nah, ternyata benar kawan saya itu muncul. Mukanya tegang dan berteriak-teriak ‘Tuhan Yesus tolong saya!’ Saya pegang tangannya sambil bilang ‘Tuhan Yesus sudah datang.’ Saya bawa dia ke dekat perahu yang terbalik sehingga dia bisa pegang kayu dan masih bisa hidup.”

Pak Husein bilang pekan depan kami main ke laut dengan perahu kawannya. Semoga perahu itu tidak terbalik. Saya juga rindu dengan istrinya, Ibu Rapiah. Dia pernah menelepon saya bilang mau bikin ikan pari pakai parutan kelapa kalau saya datang.

Sunter, hujan masih belum juga pulang.