Friday 12 December 2008

berbagi

Lama-lama gue nyerah juga.” Saya terkejut dengar ucapan yang keluar dari mulut kawan saya. Saya tengokkan kepala dan naikkan alis tanda tanya. “Cape gue begini melulu, tanya sana-sini, gonta-ganti metode,” lanjutnya. Mukanya tak lagi sesumringah waktu kami baru sampai di rumah makan. Lapar membelit sejak siang, tapi saya tahu bukan karena lapar wajahnya jadi masam begitu. Pastilah soal skripsi.

Janganlah, jangan menyerah,” ucap saya. Sebenarnya saya pun tak tahu arti kalimat yang baru saya ucapkan itu. Saya juga dalam kondisi terjepit, berada di antara rasa harus berjuang dan tidak berjuang. Ia dan saya sedang pusing membuat penelitian yang, dalam bahasa saya, “bukan penelitian saya”. Keinginan saya untuk membuat penelitian tentang pembingkaian berita ternyata kandas. Saya harus berubah haluan, mengganti paradigma dan rumusan masalah. Pekerjaan yang tak mudah. Sedangkan, kawan saya itu harus mencari-cari metode yang sesuai akibat pemikiran dosen.

Hitung punya hitung, sudah tiga minggu saya dan dia berkutat dengan segala keinginan di luar diri sendiri. Bagi saya itu tidak mengenakkan. Ketika harus membaurkan keinginan saya dan keinginan orang lain, lantas mengaku dan mengatasnamakan pembauran itu sebagai keinginan diri sendiri. Padahal, ia tidak murni, berasal dari luar, bukan dari ego sendiri. Dan, tibalah saya di sebuah posisi, antara berjuang dan menyerah, yang membuat saya tak cukup bersemangat.

“Beruntung, ya, mpok kita bareng-bareng. Jadi gue ga merasa bosan. Gue cerita masalah gue ke lo padahal lo juga lagi bermasalah. Haha…”, kata kawan saya. “Ya, kita saling berbagi aja,” balas saya.

Berbagi masalah, derita, kesenangan, kesialan, dan sebagainya kepada kawan jadi kekuatan buat diri saya. Kawan saya pun merasa begitu. Saya ingat dua minggu lalu kami pergi ke dua perpustakaan di Jakarta buat mencari data. Kalau capai kami keluar perpustakaan, mencari warung, pesan minum, dan duduk mengobrol. Obrolan seputar hasil pencarian data dan masalah-masalah penelitian. Tak pernah bosan kami berkeluh-kesah, memaki-maki, dan menertawakan diri sendiri. Sampai hari ini.

Saya teringat pesan pendek yang pernah kawan saya itu kirimkan di bulan Agustus. Ia katakan ia berharap pada waktunya, ketika skripsi dimulai, kami dapat saling bantu. Saat itu sudah datang, kawan. Cuma bermodal “berbagi” rasanya ada lagi semangat di diri ini. Ah, senangnya miliki kawan yang bisa jadi tempat bersandar di kala saya berdiri hanya dengan satu kaki.


-Jatinangor di suatu malam dengan hujannya-

bersyukurlah saya berkawan

Bersyukurlah saya punya kawan-kawan yang selalu menguatkan saya. Berterimakasihlah saya kepada mereka yang buat saya semakin mengenal diri ini.


Sudah dua minggu saya berkutat dengan mencari tahu kasus dan metodologi untuk pra-skripsi. Selama itu pula saya menengadah kepada kawan-kawan di Jatinangor dan Jakarta. Ketika saya lunglai menghadapi kondisi kampus saat itu pula saya memaki-maki ke kawan-kawan soal itu. Ketika pikiran saya terantuk pada kebingungan saat itu pula saya biarkan mulut ini melontarkan segala kebingungan di diri. Ketika saya bersemangat memulai sesuatu saat itu pula rasa saya bagi ke mereka. Ah, mereka selalu ada buat saya. Ah, mereka selalu peduli akan saya.

Sampai malam tadi seorang sahabat baik sekali lagi, ya sekali lagi, memberi kekuatan kepada saya untuk melangkah. Memberi saya keyakinan bahwa semuanya tidak berakhir hanya di sini, di sebuah penelitian bernama skripsi. Saya sadar saya harus total mengerjakan penelitian ini tanpa menafikan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menanti. Bukan perkara saya temukan berbagai kalimat bernada pengetahuan hanya untuk saya tampilkan di penelitian, tapi kalimat-kalimat itu juga saya cerap untuk diri saya. Ini pengetahuan untuk diri saya sendiri. Mungkin saja nanti berguna untuk hal lain.

Dan, semuanya itu butuh pengorbanan: pikiran, tenaga, waktu dan uang. Saat ini saya merangkak mencari tahu apa yang harus saya tahu. Cukup lelah memang. Namun, saya tenang karena masih ada kawan-kawan saya yang menunggu saya untuk berdiri. Menanti saya katakan bahwa saya bisa.

Sunday 23 November 2008

hujan belum usai

sudah malam, hujan masih belum juga pulang ke peraduannya.
padahal sudah sedari sore dia bertamu di jendela kamar.
padanya saya katakan saya masih setia mengawani.
dan kami bercakap-cakap tentang kehidupan.
sambil diselingi segelitik tawa kami terus bicara.
tentang kesenangan dan kejenuhan.
perkara keglamoran dan kemelaratan.
soal kesatuan dan keterasingan.
hidup begitu mencurigakan, ujar saya.
hujan diam saja.
saya tutup jendela.
biarkan dia menari di luar sana.

Monday 3 November 2008

Melancong


Dua minggu di Jakarta bikin kepala saya pusing. Macetnya lalu-lintas di ibukota membuat diri ini jengah. Sampai suatu hari saya bisa berada di ketinggian Jakarta menyaksikan riuhnya si kota metropolitan. Saya bisa lihat rentetan rel kereta api di stasiun Gambir sampai gugusan pulau kecil di utara Jakarta. Kanan kiri depan belakang saya saksikan pemukiman penduduk yang tenggelam oleh gedung-gedung menjulang. Inilah Jakarta, sebuah kota hasil gerak sejarah.

Sunday 19 October 2008

Kereta, Oh, Kereta

Heran saya dengan alat transportasi umum di Jakarta Raya ini. Bus-bus umum di jalanan sana tidak ramah penumpang. Mulai dari bangku tidak nyaman diduduki, supir bus menyetir ugal-ugalan, penumpang diberhentikan di tengah jalan, sampai kenek yang pura-pura lupa kasih uang kembalian. Angkot-angkot kecil pun begitu. Nyatanya tidak hanya alat transportasi di jalan raya saja yang mengecewakan, kereta api pun ikut-ikutan menyebalkan.

Kesekian kalinya saya naik KRL jurusan Kota – Bogor selalu saja ada rasa kesal menyelinap di hati. Sejak menunggu datangnya KRL segenggam kesal sudah muncul. Tidak ada jadwal pasti kedatangan kereta ekonomi itu. Tunggu punya tunggu sampai kaki ini pegal barulah KRL datang. Sampai di dalam belum tentu dapat tempat duduk. Walaupun saya naik dari stasiun pertama, sudah banyak penumpang yang hendak ke arah selatan (Bogor) naik dari stasiun-stasiun sebelum stasiun Kota. Naas memang kalau tidak dapat tempat duduk. Pilihan akhir yang tersisa hanyalah bergelantungan di tiang penyangga barang bawaan dekat atap KRL.

Bau tak enak juga menghiasi KRL. Sungguh tak ada satu sudut bersih pun di dalam kereta. Pastilah segala macam sampah bisa ditemukan. Dari puntung rokok sampai biji jeruk. Belum lagi ludah-ludah melekat hangat di lantai kereta. Sepanjang jalan jangan harap kipas angin di atas kepala berputar. Alat itu cuma seperti penghias, sebuah kemewahan tak berfungsi semata.

Ironisnya, di tengah perjalanan kereta bisa-bisanya berhenti. Pernah sekali waktu saya tanya ke penumpang sebelah alasan kereta berhenti. Jawabnya akan ada kereta bisnis yang lewat, harus mengalah. Sekali dua memang begitu kenyataannya. Namun, kerapkali saya tidak menemukan kereta lewat ketika KRL berheni. Ini tidak terjadi barang semenit dua menit. Bisa dua puluh menit menunggu kereta berhenti tanpa tahu alasannya!

Tidak nyaman, tidak bersih, tidak tepat waktu. Itu moto yang tepat untuk KRL jurusan Kota-Bogor. Apakah karena harga karcis murah seharga Rp2.500,00 hilanglah pelayanan nyaman, bersih, dan tepat waktu dari PT KAI? Muram sekali wajah transportasi umum di Jakarta ini. Kalau saya sedang di dalam KRL saya berpikir: beginikah cara negara menghargai warganya?

Inkud. Saya rindu padanya. Sungguh.


Bila malam telah menggelayut, saya tak takut membiarkan jendela kamar saya terbuka. Saya senang bila hembusan angin malam menyapa. Walaupun seharusnya saya takut karena, katanya, ada hantu yang berkeliaran di depan jendela kamar saya. Tak peduli.
Kamar saya berukuran 3 x 3 meter. Cukup untuk menampung sebuah tempat tidur, dua meja, sebuah lemari dengan rak panjangnya dan sedikit lantai tempat duduk. Semuanya tak tertata rapi. Saya akui. Tapi saya suka segala keberantakan itu.

Di kamar itu saya habiskan sang waktu. Pulang kuliah saya nyalakan komputer dan memilih file-file untuk kerjakan tugas kuliah. Soal tugas kuliah, ini yang paling menyita hidup saya. Ada-ada saja tugas di jurusan jurnalistik, kampus saya itu. Ada tugas menganalisis berita, buat program radio, analisis SWOT, buat artikel, riset kecil. Macam-macamlah.

Beruntung di komputer saya ada program Winamp. Jadi saya bisa mendengarkan musik dari program itu. Beberapa lagu kerapkali saya putar untuk mendampingi saya membuat tugas. Tak usah saya sebutkan satu per satu. Hanya saja saya ingin mengucapkan terimakasih buat D’Cinnamons, Dewa 19, Sore, Anggun, Rastafara. Merekalah yang menemani saya membuat tugas.

Kalau sudah merasa penat di depan layar komputer, saya putar badan. Ambil gelas, tuangkan kopi dan seduh dengan air panas. Aduk sebentar baru saya bubuhkan gula. Menurut kawan saya yang suka minum kopi, akan lebih baik menuangkan gula setelah kopi larut dengan air panas. Tujuannya supaya kopi lebih sedap dicecap. Saya ikuti resepnya dan memang benar demikian.

Kopi siap, tak lupa sebatang rokok dinyalakan. Saya duduk di pinggir jendela dan mulai menikmati kedua kawan saya, si kopi dan si rokok. Suka sekali saya kalau langit yang tengah memajang diri warnaya sudah kemerahan. Pertanda akan senja. Saya hanya dapat sepetak langit kemerahan tanpa tuan senjanya sendiri. Kos sebelah saya berdiri terlalu tinggi sehingga menutupi matahari yang bermetamorfosis menjadi senja. Tapi tak apalah. Saya sudah terlalu suka dengan semua yang tersaji. Sederhana dan menyenangkan.

Saya masih melek walaupun malam sudah tua. Biasanya saya mengobrol dengan kawan kos atau kawan kuliah. Kalau tidak mengobrol saya benamkan diri dalam bacaan. Jika uang cukup banyak saya melangkahkan kaki ke warnet Imago untuk membuka website ini itu, situs ini itu, unduh informasi ini itu, dan friendster. Sekitar jam tigaan baru terasa mata ini lelah. Saat itulah saya kembali ke kamar dan membaringkan diri di kasur, tidur.

Itu sekelumit aktivitas saya di kos Inkud. Semuanya biasa-biasa saja. Akan tak biasa-biasa saja bila kawan-kawan saya datang. Kami bercerita panjang lebar. Apa saja dibicarakan. Dosen, tugas kuliah, teman kampus, ibu kantin, gebetan baru, banyak lagi. Cerita kami selalu berselang-seling dengan tawa. Sebuah tawa yang pasti mengganggu penghuni kos lainnya. Namun, sejauh ini belum ada pengaduan. Jadi, tawa kami masih bebas, belum dibatasi. Hampir saban malam saya ditemani kawan-kawan kampus. Kamar saya ramai selalu.

Astaga! Ini yang menjadi bahan kerinduan saya. Ya, benar! Saya mengerti mengapa saya rindu Jatinangor dan kos Inkud. Ada kenangan di sana. Kenangan waktu saya sendirian di kamar. Dan kenangan saat saya ditemani kawan-kawan saya. Ada kesendirian dan kebersamaan. Ada kesenyapan dan kegegapgempitaan. Ada kesatuan.

Ya, benar! Itu yang saya rindukan.

Ingin rasanya saya habiskan bulan Juli ini sesegera mungkin. Biar saya kembali ke Jatinangor dan injakkan kaki di kos Inkud. Mengajak kawan-kawan merayakan kebersamaan. Menertawakan segala kebodohan dan kepintaran kami. Menertawakan kenaifan kami masuk jurnalistik. Tertawa dan terus tertawa, sampai lunglai.

Jakarta, 4 September 2008

Pagi, Selamat Pagi..

Kokok ayam terdengar

Sinar mentari menembus tirai

Hembusan angin menyusup

Aku beranjak dari kasur

Membuat segelas kopi

Dan membakar sepuntung rokok

Kubuka jendela

Menghirup hitamnya kopi

Menikmati hisapan rokok

Melihat genteng tetangga

Mendengar pekik tawa teman sebelah

Menyapa seekor kucing yang melintas

Aku tersenyum

Menyapa pagi

Mensyukuri nikmatnya pagi

Jatinangor, 17 september 2006

Dari Jatinangor Sampai Gudang Garam Merah

Pernah suatu kali saya nekat pulang ke Jakarta dari Jatinangor jam tujuh malam. Awalnya saya bimbang: pulang atau tidak pulang. Namun, mengingat uang di dompet tinggal Rp30.000,00 saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Tujuan saya pulang ke rumah minta uang ke orangtua untuk biaya hidup. Memang ada layanan berteknologi canggih ATM untuk mentransfer uang, tetapi ibu mengharuskan saya pulang.

Jam lima sore saya keluar dari kosan, menghampiri angkot coklat dan menaikinya. Ada setitik kebimbangan pada saat itu. Toh, saya tetap meneruskan perjalanan. Berhenti di pinggir jalan Cileunyi, saya tengok kanan kiri. Rupanya tidak ada seorang manusia pun yang saya kenal. Semua orang asing. Di situ saya menunggu bus Primajasa jurusan Lebak Bulus. Satu jam menanti, belum terlihat bus itu. Saya mulai merasa khawatir. Khawatir sampai di Jakarta kemalaman. Di sekitar saya, para kenek bus sudah berteriak-teriak. Ada pula yang berteriak di dekat telinga saya.

”Merak Merak!”

”Bandung, Bandung!

”Bogor, teh.. Bogor!”

Saya tidak mengindahkan mereka. Malas rasanya kalau harus menjawab pertanyaan mereka. Apalagi kalau sudah menjawab bahwa saya akan ke Jakarta, mereka tetap saja menyorongkan tubuhnya untuk meyakinkan saya bahwa tidak ada bus ke arah Jakarta.

Akhirnya, saya mengirim SMS ke teman. Saya menulis isi SMS panjang lebar soal sebuah majalah kampus. Yah, pokoknya saya membelokkan pikiran saya ke isi SMS, tidak mau memikirkan begitu berisiknya lingkungan sekitar saya.

Ternyata belum cukup satu jam saya harus menanti bus. Dua jam kemudian, barulah si Primajasa berbadan besar itu merayap ke pinggiran Cileunyi. Bergegas saya menaiki bus takut tidak kebagian tempat duduk. Beruntung ada sebuah kursi tak berisi. Saya merebahkan pantat dan melihat kondisi di dalam bus. Sekitar lima sampai enam penjual makanan tengah menjajakan jualannya.

Seorang bapak sibuk mengatur barang bawaannya ke atas laci di atas tempat duduk. Di samping saya, seorang pemuda tengah terlelap. Begitu pula sebagian besar penumpang. Sepertinya mereka kelelahan sehingga tidur menjadi santapan utama di dalam bus. Saya pun ikut memejamkan mata. Lelah harus berdiri menanti Primajasa.

Dua setengah jam kemudian, bus sudah memasuki kawasan Jakarta. Saya terbangun dan harus waspada supaya tidak melewati UKI, tempat saya turun. Sebelum bus berbelok ke arah Lebak Bulus, saya sudah berdiri di pinggir pintu bus. Bersama tiga orang lainnya, saya turun di persimpangan itu.

Untuk mendapatkan bus ke arah Tanjung Priok saya harus berjalan kaki kira-kira sejauh 300 meter. Jam sudah menunjukkan pk 21.00 WIB. Saya bergegas. Tiba-tiba dari belakang saya, ada seorang bapak berjas hitam mengikuti langkah saya.

”Neng, ayo sudah malam...”

Ia mengulang lagi.

”Ayo, neng sama abang pergi yuk.”

Langsung saja pada saat itu juga saya dihinggapi ketakutan. Ia terus membuntuti saya. Sampai di pinggir jalan pertengahan UKI, ia masih berdiri di dekat saya. Saya taksir ia berumur empat puluhan. Mungkin lebih. Masih saja ia mengajak saya pergi. Wah, orang ini sepertinya tidak beres, batin saya. Cuek saja saya berdiri di situ. Saya merasa agak aman melihat beberapa orang yang juga tengah menanti bus. Mungkin karena saya tidak mengindahkan bapak ”centil” itu, ia pun berlalu.

Berbagai jenis kendaraan begitu banyak memadati salah satu jalan utama Jakarta itu. Angkot-angkot merayap pelan mencari penumpang. Kenek-kenek bus berteriak-teriak memanggil penumpang. Di sisi jalan lain beberapa pemuda sedang asyik menyanyikan lagu entah apa. Di tengah jalan raya, seorang polisi sibuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan menggunakan sepotong tongkatnya. Ramai sekali. Belum lagi beberapa anak kecil mengamen dengan kecrekan di tangannya.

Saya lihat jam di handphone. Sudah jam 11 malam rupanya. Saya harus segera mengambil keputusan agar sampai di rumah dengan selamat. Ketika saya tengok ke arah belakang, ada bus ke arah terminal Senen. Setengah berlari saya menuju bus itu. Di dalam bus beberapa penumpang tengah tidur. Padat sekali penumpang di dalam bus tersebut. beginikah kehidupan di Jakarta sampai waktu tidur pun banyak orang masih berada di dalam bus? Heran saya melihat begitu banyak orang.

Di sebelah saya berdiri seorang pemuda tengah menikmati musik dari MP3-nya. Ia berambut gondrong dengan tatanan rambut rapi. Yah, setidaknya rambut itu tampak sudah disisir. Di depan saya, seorang perempuan dengan mata setengah mengantuk, berdiri sambil memperhatikan jalan raya. Bus melaju cukup kencang. Saya berniat turun di depan Atrium Senen, sebuah pusat perbelanjaan yang pernah menjadi korban pengeboman beberapa tahun lalu. Tak lama kemudian, bus sampai di perempatan Senen. Saya turun dan menyetop bajaj, sebuah kendaraan umum beroda tiga.

”Bang, Sunter Agung. Berapa?” tanya saya.

”Sunter Agung. Wah, jauh neng. Dua puluh ribu aja,” jawab si abang bajaj.

“Hah? Dua puluh ribu? Mahal amat. Lima belas ribu ya. Sudah biasa saya.”

Si abang bajaj terdiam sejenak. Akhirnya ia menganggukkan kepala. Saya pun naik ke dalam bajaj.

Di dalam bajaj, saya segera mengirim SMS kepada kakak saya. Isinya kira-kira begini: setengah jam lagi sampai di rumah, tolong siapkan uang Rp15.000,00 buat bayar bajaj. Saya tidak punya uang lagi untuk membayar bajaj. Jadi, mau tak mau saya harus minta keluarga untuk membayar jasa supir bajaj.

Bajaj yang saya tumpangi berlari cepat menembus kegelapan malam. Ia berbelok lincah seperti tak ada beban. Masuk ke kawasan Kemayoran yang sepi kendaraan, saya merasakan angin malam yang begitu kencang. Kelap-kelip lampu di pinggir jalan seolah menyambut kedatangan saya. Terus dan terus bajaj melaju. Dan sampailah di depan rumah saya di Sunter Agung.

Bapak saya telah menunggu ternyata. Ketika bajaj berhenti dekat tempat bapak berdiri, segera beliau menyodorkan lima belas ribu rupiah kepada supir bajaj.

”Terimakasih, pak anak saya sudah diantar pulang,” tutur bapak saya.

”Ya, pak. Sama-sama,” jawab supir bajaj.

Bajaj berlalu. Saya dan bapak saya bergegas masuk ke dalam rumah.

”Ada lagi model seperti itu. Tidak ada uang, sms orang rumah, minta bayar bajaj,” ujar bapak.

”Hehe...tidak ada lagi bus ke arah Sunter. Ya sudah, naik bajaj,” kata saya membela diri.

”Demi kamu bapak tidak jadi beli rokok.”

Ternyata uang untuk membayar supir bajaj tadi adalah uang beli rokok bapak saya. Yah, tak apa. Nanti saya belikan satu bungkus rokok Gudang Garam Merah pakai uang kakak saya. Bapak duduk melanjutkan bacaannya. Saya masuk ke kamar, berbaring, dan tertidur.

Ada Apa Pagi Ini?

Sebuah sms menyentak saya pagi ini. Ada pesan rupanya dari seorang kawan di Jogja sana. Dia bilang kalau saya hendak beli koran hari ini belilah Kompas. Saya balas sms-nya: ada apa di koran itu. Jawabnya ada opini dari mahasiswa S1 komunikasi. Saya mulai menerka jangan-jangan itu opininya.

Kawan saya itu memang sering mengirim resensi buku dan opini ke banyak media massa. Terkadang dia tidak mencantumkan identitas mahasiswanya lantaran ia tahu banyak media massa mainstream lebih suka menampilkan resensi atau opini dari para intelektual yang bukan berstatus mahasiswa S1. Karena saya sudah tahu tabiat kawan saya itu, maka saya berani menerka mungkin saja opininya yang dimuat.

Sungguh saya penasaran. Jadilah saya turun dari kamar kosan menuju teteh penjual koran, tak jauh dari depan kosan. Sampai di sana saya ambil Kompas dan bayar Rp3.500,00. Sembari jalan saya buka halaman 6, halaman opini. Di bagian bawah ada sebuah opini tentang kebebasan pers. Mata saya langsung tertuju pada identitas penulis. Haha! Ternyata benar itu nama kawan saya. Dia pakai identitas peneliti sebuah lembaga di kampusnya.

Sepanjang jalan saya baca opininya sambil tersenyum-senyum. Bukan karena isinya yang lumayan menarik, melainkan saya sadar yang menulisnya adalah kawan saya. Saya senang mimpinya menyata. Di Jogja setiap kali kami berjumpa dia selalu bercerita soal kesukaannya menulis dan tak lupa strategi memalsukan identitas supaya tulisan masuk ke media massa. Saya senang pagi ini. Senang untuk kawan saya itu.

Setumpuk Koran di Pundaknya

Sosoknya yang ringkih terlihat dari tikungan SDN Kepatrian, samping Pagelaran Keraton. Seperti pagi seminggu lalu ia kenakan celana selutut dan kaos lusuh. Di tangan kirinya tergeletak setumpuk koran. Dialah Pak Pego. Nama aslinya Nga

Saban hari jam setengah enam pagi Pak Pego keluar dari rumahnya yang berada di belakang kios-kios batik di Pasar Ngasem. Dari rumahnya ia jalan kaki ke Tamansari ke arah keraton. Di sini ia duduk menunggu pembeli. Terkadang para penjual barang-barang khas Jogja yang menggelar dagangannya di sana turut membeli koran-koran dari Pak Pego.

Dari keraton ia berjalan lagi ke arah utara melewati Jalan Wijilan dan tembus ke Jalan Ibu Ruswo. Pelan-pelan ia berjalan sampai di depan pagelaran keraton. Mulutnya tak mengeluarkan suara sepanjang ia berjalan. Bila sudah berada di depan sekelompok orang ia akan menyodorkan koran-korannya. Penanda ia menawarkan dagangannya.

Pak Pego mengaku lahir pada 1924. Seingatnya, waktu masih cilik ia pernah ikut latihan menjadi tentara Jepang. Disuruh ikut latihan ia manut saja karena pada waktu itu ia tidak punya pilihan. Lagipula ia melihat teman-temannya ikut menjadi tentara Jepang. Ia pun turut berjuang di Ambarawa. Peristiwa Ambarawa yang ber. Sayang Pak Pego tidak bisa mengingat lagi pengalamannya dulu. Kadang saat ditanya ia diam sejenak lantas katakan “Lali.” Kemudian ia akan tertawa memamerkan mulutnya yang sudah tak bergigi. Ia tertawakan dirinya yang sudah lupa banyak hal.

Saat Soekarno menjadi presiden RI, Pak Pego menarik becak. Puluhan tahun ia menjadi pengayuh becak sampai 1990-an awal. Kakinya mulai terasa sakit dan nyeri. Akhirnya ia putuskan berhenti “mbecak” dan berjualan koran di Pasar Ngasem. Anaknya yang sudah dewasa membantunya berjualan. Kemudian mereka bagi tugas. Si anak berjualan koran dan rokok di pasar, si bapak jualan koran keliling.

Pak Pego tidak bisa baca tulis. Kalau ada orang yang hendak beli Bernas Jogja, misalnya, ia akan mencarinya dengan cara menghafal bentuk huruf dan warna. Saat orang tanya harga koran ia akan bilang “di situ berapa?” sambil menunjuk koran. Si calon pembeli menyebutkan harga yang tertera di koran dan Pak Pego mengangguk. Ada kemungkinan calon pembeli membohongi Pak Pego.

Ia juga tidak bisa menghitung uang. Ia hafal warna uang kertas dan bentuk uang logam. Semuanya ia serahkan kepada pembeli. Bila panah jam di tangannya menunjuk angka 1 ia akan berjalan kaki kembali ke rumah. Sampai di sana ia serahkan seluruh uang yang ada di kantongnya kepada anaknya. Ia tidak tahu berapa pendapatan penjualan koran dalam satu hari. Koran-koran yang tidak terjual ia kembalikan ke anaknya. Setelah itu ia makan dan tidur siang.

Keesokan paginya ia akan berjalan kaki lagi di rute yang sama. Cara menjualnya pun sama. Yang berbeda hanyalah para pembelinya. Begitu terus setiap hari. Pak Pego tidak pernah merasa bosan menjalankan pekerjaannya. Baginya hidup itu yang penting sehat dan jujur. Tidak lebih.

Jogjakarta, 21 Agustus 2008