Wednesday 9 December 2009

babi menari di atas petani

Para babi menari-nari di atas bukit tak jauh dari ladang petani.
Si petani bingung melihat para babi.
Para babi tak peduli dan terus menari, berlenggak-lenggok kian-kemari, dengan lekukan tipis pinggulnya.
Si petani tersenyum, kemudian tertawa, lantas tertawa terbahak-bahak.
Para babi bergumam mengirim suaranya ke atas langit, biar didengar dewa babi.
Si petani mengernyitkan dahinya tanda tak mengerti suara para babi.
Para babi mengerlingkan mata ke arah si petani, bertanya mengapa si petani tertawa keras.
Si petani semakin tak mengerti arti suara babi.
Para babi berhenti menari, kemudian berlari kecil ke arah si petani.
Si petani dikepung para babi, ditendang dan dipukuli.
Para babi puas.
Si petani mati.


Siang yang resah di Blok M

Friday 13 November 2009

kadang hidup butuh amplop, bung!


Sembari menyantap soto betawinya kawan saya bercerita hubungan pertemanan wartawan di tempatnya meliput, yang menurutnya banyak buruk sangka. Cerita dimulai dari terbentuknya dua kelompok wartawan yang kerap meliput di sebuah instansi pemerintah. Sekelompok wartawan mengaku dirinya bersih dari amplop dan idealis. Sedangkan, sekelompok yang lain mengaku dirinya tidak bersih dari amplop, ditambah pula kabar yang beredar hebat menyatakan mereka wartawan gampang dapat amplop. Jadilah begitu, ada dua kubu: “tolak amplop” dan “terima amplop”.

Kawan saya itu bercerita suatu sore lepas liputan ia pulang dibonceng wartawan “terima amplop”. Dalam perjalanan mereka membicarakan kondisi pertemanan antara kubu “tolak amplop” dan “terima amplop.” Kubu “tolak amplop” ini dipimpin seorang wartawan sebuah media massa besar. Ia yang merekrut wartawan-wartawan baru untuk masuk ke kubunya dan mendoktrin mereka agar tidak bergaul dengan para wartawan “terima amplop”. Begitu hebatnya doktrin itu sampai-sampai wartawan “tolak amplop” tidak mau berbicara dengan wartawan “terima amplop”, walau saling berhadapan sekalipun, di depan ketua kubu “terima amplop.” Namun, jika sang ketua tidak ada maka para wartawan itu akan saling bercerita. Kalau sang ketua datang segera saja perbincangan berhenti dan anggota kubu wartawan “tolak amplop” akan memisahkan diri.
Tidak sebatas pergaulan saja ternyata. Hingga mewawancarai narasumber pun perseteruan masih terjadi. Jika narasumber tengah dikerubungi banyak wartawan biasanya para wartawan itu akan melontarkan pertanyaan apapun yang ditangani narasumber. Suatu kali wartawan “terima amplop” bertanya kepada narasumber. Segera saja ketua wartawan “tolak amplop” mendelik ke arah wartawan-wartawan kubunya dan segeralah mereka mematikan alat perekam masing-masing dan berhenti mencatat. Sang ketua pun mengernyitkan dahi ke arah wartawan “tolak amplop” dan menilainya melontarkan pertanyaan bodoh.
Kali lain ada pemilihan ketua wartawan di instansi itu. Kandidat ketuanya ada dua, seorang dari kubu “tolak amplop” dan seorang lagi kubu “tolak amplop.” Dengan teriakan “dicari ketua yang bersih” sang ketua kubu “tolak amplop” segera mendekati para wartawan yang tidak masuk kubu mana pun untuk memilih kandidat “tolak amplop”. Saat proses pemilihan kedua kandidat itu setara jumlah pemilihnya. Akhirnya dibuatlah tahap akhir pemilihan. Sang ketua “tolak amplop” semakin gencar mendekati para wartawan netral untuk memilih wartawan bersih. Saking khawatirnya, sang ketua pun mengancam akan membeberkan rekaman percakapan antara kandidat ketua dari kubu “tolak amplop” dengan seseorang yang memberinya amplop, di depan para wartawan. Rekamannya sudah ia pegang, tinggal diputar kalau si kandidat wartawan “tolak amplop” itu menang. Di akhir pemilihan pemenangnya wartawan “tolak amplop”. Alhasil, rekaman itu tidak jadi dibunyikan.
Dalam perjalanan berkendara motor wartawan “terima amplop” bercerita kepada kawan saya. Ia bilang gajinya tidak cukup untuk menghidupi anak istrinya jika ia tak terima amplop. Intinya, ia butuh amplop. Penghasilannya 3,8 juta. Terima gaji langsung dipotong kredit rumah 1 juta. Satu juta lainnya untuk biaya tranportasi liputan, makan saat liputan, dan pulsa handphone. Sisanya, 1,8 juta untuk anak istri plus belanja makan plus tagihan listrik plus tagihan air dan plus plus lainnya.
“Nggak cukup 1,8 juta itu. Anak gue minum susunya kuat. Dalam sebulan bisa 200 ribuan gue keluar duit buat beli susu kaleng. Belum yang lain-lain,” kutip kawan saya.
“Gue emang terima amplop tapi gue ga memeras. Kalo dikasih ambil, ga dikasih yah ga apa,” kutip kawan saya lagi.
Ketika kutipan-kutipan itu selesai terlontar dari mulut kawan saya, kami terdiam, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Saya bilang saya berlatar belakang jurnalistik yang berbalut idealisme jurnalistik, salah satunya tak terima amplop. Saya meyakini kuat doktrin itu. Namun, cerita itu membuat pandangan saya berubah. Doktrin itu menjadi usang, tak berlaku lagi, basi.
Apakah dapat dibenarkan si wartawan tolak amplop ketika di rumah si anak menangis minta susu? Belum lagi istri minta uang belanja dan uang segala tagihan?
Atau sebenarnya ini bukan perkara benar atau salah, bukan perkara etika?
Entah ini disebut masalah apa. Buat saya ini masalah perut. Tidak hanya perut si wartawan, tapi perut dua manusia lainnya yang tunggu makan. Seperti siang tadi saya lapar sangat dan saya keluarkan uang 12 ribu rupiah untuk bisa santap nasi rames. Ya, perut harus diisi ketika lapar. Buat energi untuk bisa kerja lagi. Dan saya bisa keluarkan uang sebanyak itu tanpa perlu memikirkan makan untuk anak suami saya misalnya. Saya tak perlu terima amplop karena saya tidak mau, kantor tidak mengizinkan, dan kondisi saya memungkinkan saya untuk bilang “cukup” atas penghasilan saya. Itu kondisi saya. Lantas, bagaimana dengan kondisi wartawan “terima amplop” itu? Kalau dia tidak terima amplop darimana duit untuk makannya saat liputan? Itu berarti dia tidak maka, tidak punya energi untuk liputan, tidak menghasilkan berita, ditegur kantor, dan bisa saja dipecat. Tidak bisa dikatakan sama, kan? Juga tidak bisa menghakimi “karena dia terima amplop dia bukan manusia idealis dan tak perlu berkawan dengannya”, bukan?

Huff... Cerita siang tadi masih saja menggantung dalam ingatan sampai transjakarta membawa saya menuju Utan Kayu. Dan ketika saya berhadapan dengan komputer kantor dan membagikannya di sini.

Friday 18 September 2009

Ikan Cupang di Waktu Luang

Sunter, kurang lebih 15 tahun lalu. Banjir melanda. Dan saya senang bukan kepalang karena bisa mencari ikan di air yang meluap dari selokan. Ikannya kecil. Saya dan kawan-kawan memanggilnya ikan cupang. Yang saya tahu ikan di selokan, berwarna hitam dan ukurannya kecil, sudah pasti namanya ikan cupang. Selepas lonceng sekolah berbunyi pertanda berakhirnya waktu belajar saya dan kawan-kawan janjian bermain banjir dan mencari ikan.

Pulang sekolah dengan langkah berjinjit saya masuk ke dalam dapur rumah. Tengok kanan kiri tak terlihat seorang pun. Saya ambil saringan bulat yang biasanya dipakai mama saya untuk menyaring santan kelapa. Saya bawa saringan itu keluar rumah dan segera bergabung dengan kawan-kawan saya. Yang bawa saringan ternyata cuma saya. Lainnya bertangan kosong.

Akhirnya kami mulai misi pencarian ikan cupang. Dari selokan besar sampai selokan kecil. Dari jalan besar depan sekolah sampai jalan kecil depan mesjid. Saya dan kawan-kawan berlari-lari kecil mencari ikan cupang. Karena tak kunjung dapat akhirnya kami bagi dua tim. Satu tim berjaga di ujung selokan. Lainnya berjaga di ujung satunya. Seekor dua ekor kami dapat. Kemudian ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam plastik bekas es kacang hijau.

Ketika saya berada di depan selokan, saya lihat seekor ikan cupang berlari gesit. Segera saya ulurkan saringan santan di tangan saya untuk menahan laju ikan itu. Wow, berhasil! Saya tangkap dia dan saya gabungkan dengan ikan-ikan sejenisnya di plastik yang sama. Gairah saya untuk menangkap ikan meluap-luap. Sampai di selokan besar saya masih saja ingin tangkap ikan. Ouw, seekor ikan cupang lewat. Cepat-cepat saya ulurkan lagi saringan santan. Tapi ternyata ikan itu amat gesit.

Buktinya, saya kesulitan ikuti larinya. Yang terjadi malahan saringan santan terlempar begitu saja. Arus selokan membawanya membelok ke selokan yang lebih besar. Saya tak bisa mengejarnya. Saya hanya termenung memandang saringan santan milik mama saya. Sampai di rumah dengan membawa hasil beberapa ikan cupang yang saya dapatkan bukan pujian. Tapi kata-kata marah mama yang kesal saringan santannya saya hilangkan.

Setiap kali saya lihat ikan sampai sekarang saya selalu ingat peristiwa itu. Bermain di air banjir yang kotornya entah campuran dari mana. Dapat ikan cupang. Menghilangkan saringan santan. Basah kuyup karena terciprat air selokan. Tertawa-tawa bersama kawan. Saling dorong ke tepi selokan. Aahhh, senangnya saya punya masa itu. Sekaligus rindu punya waktu yang bisa saya pergunakan sesuka hati. Semoga esok hari atau dua hari lagi saya punya waktu untuk beli ikan cupang. Saya ingin merawatnya. Mengenang masa kecil saya yang punya banyak waktu luang.



Jelang Lebaran di Utan Kayu

Monday 7 September 2009

Perempuan Berstoking Hitam yang Kesal di Kedai Malam Itu

Perempuan itu masih saja duduk bertelekan lengan kanannya menatap lelaki bule di depannya. Bibirnya yang dilapisi gincu merah tua bergerak-gerak membincangkan sesuatu yang entah apa. Si perempuan sibuk mengoceh, si lelaki menyantap nasi rendangnya seolah tak peduli ada manusia di depan wajahnya. Mungkin karena tak digubris, si perempuan berganti jarak duduk. Ia duduk di sebelah kanan lelaki itu. Mulutnya masih sibuk bercetoleh dan matanya tampak menggoda. Ya, menggoda nakal. Namun, si lelaki tak memberi perhatian.
Sampai akhirnya si lelaki mengeluarkan dompet dari saku celana jinsnya. Ia hendak membayar harga nasi rendang yang habis dilahapnya. Melihat si lelaki memegang dompet yang terbuka, si perempuan segera memasukkan jari-jarinya untuk mengepit lembaran uang di dalamnya. Hap! Tidak kena. Si lelaki rupanya lebih lihai menangkap maksud si perempuan. Sekali dua kali tidak juga kena. Kali ketiga belum juga lembaran uang didapat. Dan, tak pernah si perempuan itu dapat lembaran uang dari si lelaki malam itu.
Lantas, si lelaki beranjak ke luar kedai. Ia menepi sejenak di luar kedai, mengeluarkan ponselnya, dan sibuk berkomat-kamit dengan ponselnya itu. Di dalam kedai si perempuan cemberut. Ada rona kesal di wajahnya. Ia kumpulkan serpihan keripik di atas meja di depannya kemudian meraupnya dengan kasar. Ia kunyah serpihan itu cepat-cepat seperti hendak menelan kekesalannya. Sampai masih tersisa dua serpihan keripik di bawah bibirnya.
Tubuhnya yang kurus itu bergerak tak tenang. Terkadang kakinya ia angkat ke atas kursi di depannya, tanpa peduli rok mininya tersingkap perlihatkan stocking hitam ketatnya. Lalu, ia turunkan lagi kedua kakinya. Menaruh wajahnya di atas meja. Kembali tegak lagi. Memandang ke arah luar kedai. Gerak-geriknya berhenti saat ia memandang tajam seseorang di sebelah mejanya. Setengah berteriak ia mengatai-ngatai lelaki itu.
“Apa yang kau lihat? Ada urusan apa saya dengan kamu sampai kamu melihat saya seperti itu?”
Si lelaki membalas, “Siapa yang melihatmu? Saya menonton televisi. Bukan melihatmu.”
“Nggak usah pura-pura. Saya tahu kamu lihat saya. Siapa sih kamu? Seenaknya saja mendengar dan melihat masalah orang lain. Dari tadi kan kamu perhatikan saya?”
“Loh, ngapain saya lihat kamu? Saya lihat tivi kok.”
“Nggak usah beralasan. Kalau saya lagi kerja di sini, terus kamu mau apa lihat saya begitu? Saya kerja, bukan santai-santai.”
Dan pertengkaran dimulai.
Karena tak juga mengaku, si perempuan berdiri di samping meja lelaki itu. Membungkukkan sedikit badannya dan berkata-kata dengan nada marah. Ia merasa tak nyaman dengan pandangan lelaki itu yang terus-menerus melihat ia dengan lelaki bule tadi. Sedangkan, si lelaki bersikukuh dia tidak melihat apa pun kecuali tayangan tivi yang bertengger dekat dapur.
Karyawan-karyawan kedai mendekati mereka. Ada yang menahan si perempuan. Ada pula yang mencoba menenangkan si lelaki. Selain karyawan ada juga beberapa lelaki bertubuh cukup besar mendekati. Mereka mengaku petugas keamanan di tempat itu. Pertengkaran semakin hebat. Hebat karena si perempuan terus-menerus memaki lelaki itu. Akhirnya si petugas keamanan meminta perempuan itu keluar dari kedai. Dengan tampang kesal si perempuan keluar kedai. Dengan langkah gontai ia berjalan entah ke mana. Ia terus berjalan sambil memegang kantong plastik putih berisi kue kaleng Khong Guan. Mungkin akan disimpannya sampai nanti Lebaran.


Sebuah malam di Utan Kayu

Monday 27 July 2009

Tawa Supir Angkot

Hari ini tidak ada yang sebahagia supir angkot trayek Kota-Tanjung Priuk. Loncatan tubuhnya tinggi melebihi tinggi mobil angkot. Teriakannya mengudara tembus redupnya malam. Juga giginya berkilat kena terpaan lampu jalanan.

“Itu dia busway. Ada sewa, sewa. Yihaa..,” teriaknya sambil meloncat di depan angkot.
Dia bahagia melihat transjakarta yang mampir di halte Pademangan. Sekejap mata pria beruban itu sudah berada di balik kemudinya. Menyalakan mesin mobil kemudian membakar rokok samsunya.

“Ayo naik naik, neng. Udah nggak ada lagi 27. Udah malem. Naik ini aja. Ayo, neng naik. Tar juga ada penumpang lain.”

Sebenarnya saya masih bisa setia menanti kopaja 27 yang melewati daerah rumah saya. Namun, entah mengapa saya turuti kemauan bapak supir angkot. Mungkin saya ingin merasakan kebahagiannya. Atau saya ingin membantunya malam ini dapatkan 2500 rupiah. Belum habis berpikir saya putuskan duduk di sebelahnya. Lima menit kemudian tiga penumpang masuk dan duduk di belakang kami.

“Oke, tariiiik.. Lumayan dapet 4,” ujarnya sambil bawakan angkot.

Saya tersenyum dengar kalimatnya. Senang mendengar dia dapat sewa, walau cuma empat manusia.
Angkot melaju tembus malam. Saya senang duduk di depan karena puas pandangi semua yang terbentang. Tidak banyak kendaraan lalu-lalang. Satu dua ojek motor parkir di pinggir jalan tunggu penumpang. Seorang perempuan berbaju hitam dengan potongan baju berdada rendah lagi berpelukan manja dengan pria berjaket kulit di atas trotoar.

“Ahey, asek,” teriak bapak supir angkot diikuti tawa penumpang belakang.

Saya ikut tertawa, ala kadarnya. Dan entah mengapa itu jadi semangat buat saya untuk bersyukur pada segala. Si bapak supir angkot itu pastinya juga lelah, seperti saya rasakan tubuh saya yang letih tak terkira. Namun ia tetap bahagia dengan segala yang ia dapatkan.

Friday 3 July 2009

“Tidak ada yang berubah.”

Seperti biasa saya berdiri bergelantungan di bus 213 yang membawa saya ke Slipi. Pagi itu sama seperti pagi yang lalu. Masuk kawasan Menteng mata saya disodori berbagai spanduk publikasi capres dan cawapres. Ini topik paling ngetop di berbagai tivi saat ini. Dari tivi yang bermoto tivi pemilu sampai tivi dangdut.

Lagi-lagi mata saya menangkap wajah-wajah capres dan pasangannya yang tersenyum dan berkepala tegak. Di sampingnya kata-kata puja-puji tertera.

Belum sampai jejeran spanduk habis, seorang ibu di sebelah saya bertanya ke lelaki di hadapannya. Sepertinya keduanya berkawan.

“Kamu mau pilih siapa?”

“Nggak tau.”

“Ah semuanya janji-janji ya. Mau janjinya selangit ya saya begini aja, ngamen. Nggak berubah. Hehe...”

Dia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri. Orang di depannya ikut tersenyum. Sekadarnya saja. Saya tengok ibu di sebelah saya itu. Tubuhnya kurus, pendek. Sedikit kerut hiasi dahi dan pipinya. Di kepalanya bertengger topi pet. Tubuhnya berbalut kaos putih pudar dan celana hitam lusuh. Ada gitar di genggaman tangan kirinya. Belum lagi saya puas meliriknya, sebuah kalimat dari arah kanan tertangkap telinga saya.

“Hati menjerit dan meronta pada kekuasaan yang dulu dan sekarang. Tidak berubah, saudara-saudara.”

Meluncur kalimat itu dari mulut seorang pengamen yang baru saja menyanyi lagu entah apa. Kalimatnya mengagetkan saya. Seolah dua kalimat dari kanan dan kiri saya berbenturan tepat di depan saya.

“Tidak ada yang berubah.”

Benarkah tidak ada yang berubah? Benarkah mereka masih pegang gitar menyanyi dan keluar bus bawa dua tiga keping seratus rupiah walau si penguasa berganti rupa?


Utan Kayu, di malam yang sedih

Tuesday 9 June 2009

sebuah pengakuan

maaf, untuk setiap kata sayang dan cinta yang pernah saya ucapkan. saya tersadar bahwa saya tidak pernah paham cinta. jika cinta itu anugerah maka saya bukanlah penerima anugerah itu. saya selalu anggap cinta itu saling berbagi. tapi ternyata dia lebih dari itu.
maka, saya bertanya apa yang telah saya perbuat dengan orang-orang yang saya kira saya cintai? mungkinkah selama ini saya berbohong pada diri sendiri dengan mengumbar cinta padahal tak tahu maknanya? atau saya yang terlalu naif dengan kata cinta?

malam ini saya menangis untuk diri saya sendiri karena selama ini tidak pernah paham cinta.


kebayoran baru, saat teringat dini pagi tadi saya menangis.

Thursday 4 June 2009

Cuma Cerita Kecil

“Malam masih pagi,” kata saya padanya.
“Baiklah, kita nikmati saja,” katanya.


Kami masuk ke sebuah kedai makanan dan minuman. Duduk di depan meja bulat di pojok ruangan. Lantas, memesan bir 1 botol ukuran kecil untuk berdua. Dan kami mulai bercerita. Kami bercerita berbagai kejadian yang masing-masing telah lewati. Hal-hal kecil yang tidak penting sebenarnya.
Ia bercerita kalau di tempat magangnya banyak orang menyapa dengan kata “cin” atau “say”. “Cin” itu maksudnya cinta, “say” artinya sayang. Kata itu keluar saat baru berkenalan. Malahan belum pernah sama sekali berkenalan. Kok bisa belum berkenalan tapi sudah sayang dan cinta?
Saya bercerita betapa mengantuknya saya jika tidak minum kopi di pagi hari. Kalau pagi tidak sempat mengopi saya menggantinya di siang hari. Ternyata kawan saya teringat dengan pengalaman kawan Bandung. Si kawan Bandung ini suatu kali datang ke Jakarta. Turun naik bus dan berjalan kaki di ibukota pada siang hari membuat dia lelah. Akhirnya dia putuskan masuk ke warung kopi. Di sana dia pesan kopi panas satu gelas. Dengan keringat meleleh disertai hawa yang masih panas kawan Bandung itu menikmati kopinya. Buat kawan Bandung itu tidak ada cerita duduk di warung kopi tidak minum kopi panas. Mau malam atau siang kopi ya harus panas.
Kami tertawa membayangkan segala cerita kecil yang kami bagi. Cuma cerita-cerita kecil yang tiada berarti. Namun, entah mengapa itu membahagiakan sekali buat saya dan dia. Sampai kami tersadar sudah jam 2 pagi. Dan di sudut ruangan terlihat si penjaga kedai duduk mengantuk menunggui kami.



Pejompongan, 1 Juni 2009

Tuesday 7 April 2009

Kala Perut Hadapi Amplop

Semalam saya mengobrol dengan seorang kawan lewat Facebook. Dia wartawan di media online di Jakarta. Belum lama bekerja, baru saja masuk. Kawan saya itu bercerita dia dapat ‘amplop’ dari salah satu instansi pemerintahan di Jakarta, soal isu Situ Gintung. Entah apa di balik pemberian ‘amplop’ itu. Sebenarnya dia ingin kembalikan ‘amplop’ tersebut kepada si pemberi. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Dia kehabisan uang untuk ongkos liputan. Uang di kantongnya sudah habis terkuras. Belum lagi gajian masih jauh hari.
Pernah ia terima ‘amplop’, kemudian diserahkan kepada redakturnya. Saat itu uang di tangannya telah habis, maka ia gunakan uang itu untuk ongkos liputan dan biaya hidup. Ia bersepakat dengan redakturnya akan mengembalikan ‘amplop’ itu kepada si pemberi apabila kawan saya sudah punya uang lagi.
Ini kali kedua ia hadapi masalah yang sama. Kawan saya ingin sekali mengembalikan ‘amplop’ yang ia terima, tetapi ia tak cukup uang untuk ongkos liputan keesokan hari. Dia ingin nama media dan namanya bersih dari kata ‘penerima amplop’. Namun, di sisi lain ia tak punya uang lagi untuk makan dan ongkos liputan. Ia harus mempertahankan hidupnya dan media tempat ia bekerja. Setelah panjang lebar kami mengobrol, keluarlah satu putusan: ia akan bicarakan masalahnya dengan redakturnya.
Saya terkesima dengan ceritanya. Di tengah laparnya kawan saya itu masih memikirkan kelanjutan liputan-liputan buat tempatnya bekerja. Sudah dia kurang uang buat makan, dia masih harus putar otak untuk biaya transportasinya meliput. Mungkin hasil negosiasi kawan saya dengan redakturnya akan seperti kasus pertama. Ia pinjam ‘amplop’ itu untuk makan dan ongkos liputan. Mungkin juga ia kembalikan ke pemberi ‘amplop’, dan itu berarti ia cari pinjaman.
Sepulang dari warnet, cerita kawan saya masih bergelayut dalam pikiran. Ah, hidup itu ternyata rumit. Bukan masalah pikir perut kenyang saja, tapi juga sepotong idealisme.

Thursday 19 March 2009

Manusia = Jabatan + Gaji + ...

Akhir-akhir ini saya kerap menemukan percakapan soal pekerjaan. Percakapan itu ada di mana-mana. Di kampus, kosan, rumah, tempat les, sampai di depan tukang somay yang bertengger di pinggir Jalan Salemba. Dan, percakapan ini selalu dimulai dengan kalimat tertuju kepada saya: sudah dapat kerja? Jawab saya: belum. Bukannya saya tidak mau bekerja, tetapi belum dapat pekerjaan.
Kalau saya sudah selesai menjawab, mulailah itu mengalir petuah-petuah sok bijak tentang pekerjaan, jabatan, gengsi perusahaan, sampai masa depan. Sampai-sampai ada seorang teman les yang mengarahkan supaya saya berposisi sebagai ini, kerja di perusahaan itu, dua tahun kemudian pindah ke perusahaan anu, kuliah S2, kerja dua tahun lagi. Kemudian ketika sudah punya tabungan banyak menikah, berumah tangga sambil meniti karir, punya anak, hidup bahagia, mati. Layaknya tuhan saja teman saya itu. Tuhan pun tidak menggariskan setiap orang harus seperti apa. Cuma usaha manusia yang berkuasa.

Kejengkelan saya tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa manusia yang bermukim di Jakarta yang saya temui sering bangga dengan jabatan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Seorang kawan bilang dia ingin bekerja di perusahaan Total atau Pertamina. Ingin jadi sekretaris direktur utama, katanya. Seorang kawan lain bertutur sudah bisa beli mobil dari besaran gajinya. Kalau mereka sudah mengobrol soal status pekerjaan dan nama besar perusahaan, bangganya setengah mati. Seperti tak sadar kalau mereka buruh yang diukur kemampuan dan kepintarannya dengan barang tak ”bernilai” bernama uang oleh sang pemilik modal.
Itu tak seberapa. Yang mengherankan saya betapa tak bijaknya mereka ketika menilai orang lain dari status pekerjaannya dan tempat mereka bekerja. Tak ketinggalan penghasilan yang diterima. Begitu rendahnya manusia ketika dilihat dari identitas-identitas pekerjaan, penampilan, dan gaya hidup konsumtifnya.
Sukses bagi beberapa kawan saya itu adalah tingginya jabatan, bekerja di perusahaan bonafit, berpenampilan modis, bisa beli mobil, punya apartemen, dan setiap minggu nonton di blitz. Aduhai, itulah harga seorang manusia. Saya benar-benar tidak mengerti sebegitu rendahnya manusia dihargai. Memanusiakan manusia memang tidak mudah. Mengapa manusia memandang manusia lain tidak dilihat dari tindakannya yang manusiawi, pikiran, dan hati nuraninya?

Saya Ikut Wisuda, Pak


Saya enggan sebenarnya datang ke wisuda. Cuma seremoni belaka, tidak lebih. Duduk, dengar ceramah rektor, berdiri bersalaman dengan rektor dan tali toga dipindahkan, duduk lagi, selesai. Setelah sidang skripsi saya tetap yakin untuk tidak datang ke wisuda, walaupun harus bayar Rp375.000,00 buat acara wisuda dan toga. Acara bayar-membayar beres saya pulang ke rumah. Di sana ibu saya bertanya soal wisuda. Saya jawab malas ikut. Bapak saya hanya anggukan kepala. Masalah selesai. Saya bebas dari pertanyaan bapak ibu saya.
Ketika saya hendak masuk ke kamar saya lihat foto-foto yang terpajang di dinding. Langkah berhenti. Ada tiga foto di situ. Di sudut kiri ada foto wisuda ibu saya. Ia tengah berjabat tangan dengan entah siapa. Bibirnya yang dilapisi gincu merah tersenyum senang. Sebelah fotonya terpampang foto kakak pertama saya. Seperti ibu, ia juga tersenyum saat berjabat tangan. Tubuhnya yang kurus terbungkus baju wisuda yang besar. Agak kedodoran.
Samping fotonya kakak kedua saya tampak riang berhadapan dengan rektor. pipinya yang bulat itu menggemaskan ketika ia tersenyum. Di sebelah fotonya tersisa sedikit dinding polos tak berhias. Saya tersentak. Mungkinkah itu dinding kosong ditujukan untuk foto wisuda saya? Saya tahu siapa yang meletakkan semua pigura itu. Pastilah bapak saya. Rasanya ia menghendaki foto anak-anaknya saat wisuda terpajang di dinding itu. Mungkin ada rasa bangga ketika tetangga atau saudara datang ke rumah dan mengagumi keempat anaknya lulus perguruan tinggi. Itu tanda keberhasilannya mendidik putri-putrinya.
Tak berapa lama saya berdiri di depan dinding berfoto itu, saya segera mengambil handphone dan menelepon seorang kawan. Saya nyatakan hendak ikut wisuda. Sungguh, tekad saya sudah bulat. Saya mau ikut wisuda. Bukan untuk terisinya pigura itu nanti, melainkan tanda hormat dan terimakasih buat bapak saya.

Kereta Oh, Kereta

Heran saya dengan alat transportasi umum di Jakarta Raya ini. Bus-bus umum di jalanan sana tidak ramah penumpang. Mulai dari bangku tidak nyaman diduduki, supir bus menyetir ugal-ugalan, penumpang diberhentikan di tengah jalan, sampai kenek yang pura-pura lupa kasih uang kembalian. Angkot-angkot kecil pun begitu. Nyatanya tidak hanya alat transportasi di jalan raya saja yang mengecewakan, kereta api pun ikut-ikutan menyebalkan.
Kesekian kalinya saya naik KRL jurusan Kota – Bogor selalu saja ada rasa kesal menyelinap di hati. Sejak menunggu datangnya KRL segenggam kesal sudah muncul. Tidak ada jadwal pasti kedatangan kereta ekonomi itu. Tunggu punya tunggu sampai kaki ini pegal barulah KRL datang. Sampai di dalam belum tentu dapat tempat duduk. Walaupun saya naik dari stasiun pertama, sudah banyak penumpang yang hendak ke arah selatan (Bogor) naik dari stasiun-stasiun sebelum stasiun Kota. Naas memang kalau tidak dapat tempat duduk. Pilihan akhir yang tersisa hanyalah bergelantungan di tiang penyangga barang bawaan dekat atap KRL.
Bau tak enak juga menghiasi KRL. Sungguh tak ada satu sudut bersih pun di dalam kereta. Pastilah segala macam sampah bisa ditemukan. Dari puntung rokok sampai biji jeruk. Belum lagi ludah-ludah melekat hangat di lantai kereta. Sepanjang jalan jangan harap kipas angin di atas kepala berputar. Alat itu cuma seperti penghias, sebuah kemewahan tak berfungsi semata.
Ironisnya, di tengah perjalanan kereta bisa-bisanya berhenti. Pernah sekali waktu saya tanya ke penumpang sebelah alasan kereta berhenti. Jawabnya akan ada kereta bisnis yang lewat, harus mengalah. Sekali dua memang begitu kenyataannya. Namun, kerapkali saya tidak menemukan kereta lewat ketika KRL berheni. Ini tidak terjadi barang semenit dua menit. Bisa dua puluh menit menunggu kereta berhenti tanpa tahu alasannya!
Tidak nyaman, tidak bersih, tidak tepat waktu. Itu moto yang tepat untuk KRL jurusan Kota-Bogor. Apakah karena harga karcis murah seharga Rp2.500,00 hilanglah pelayanan nyaman, bersih, dan tepat waktu dari PT KAI? Muram sekali wajah transportasi umum di Jakarta ini. Kalau saya sedang di dalam KRL saya berpikir: beginikah cara negara menghargai warganya?