Thursday 18 March 2010

dan saya bisa membaginya

Ini feature radio pertama saya di KBR68H: http://www.facebook.com/notes/saga-kbr68h/yustisia-mencari-keadilan/348105329914. Bagi saya perjalanan menelusuri kisah Yustisia amat menyenangkan. Walau, sebenarnya sulit dan mendebarkan. Dari sulit dapatkan narasumber, membujuk korban bercerita, sampai bolak-balik kantor polisi-pengadilan-kejaksaan. Dan mereka semua di Bekasi, yang jarak perjalanan naik bus dari rumah saya dua jam. Namun, dari segalanya yang paling berat ketika saya menulis ceritanya. Huh, sungguh berat. Karena saya harus membayangkan perempuan itu dipaksa, dipukul, dan diperkosa. Hampir saja saya katakan “tidak sanggup” ke editor feature di kantor. Tapi, tidak. Saya pikir saya harus menuliskannya, membaginya kepada siapa pun. Supaya jika ada perempuan yang dipaksa bersetubuh ia tidak tinggal diam. Ia harus berjuang menyeret pelaku pemerkosa ke jalur hukum hingga masuk bui.

Thursday 4 March 2010

kau terlalu apa adanya

Suatu malam di taman kota kita duduk bersama. Diawali sedikit basa-basi yang terlalu basi sampai kecewa saya padamu tak tertahan lagi. Lalu saya bunuh kecewa itu dengan berdiam diri, menikmati kopi dan hembusan rokok. Dan kau masih bercerita tentang segala aktivitas dan rasamu. Hanya soal dirimu. Sekali lagi, hanya dirimu. Sampai saya pikir kau hanya berkicau tak karuan untuk sumbang suara di malam itu.

Mungkin dua jam kemudian baru kita bicara serius. Di waktu itu saya luapkan segala kekecewaan saya padamu. Semuanya, hingga tak bersisa sedikit pun. Dan kau jawab “saya begini adanya.” Jawaban sama seperti sebulan lalu, empat bulan lalu, enam bulan lalu, setahun lalu. Oh, hidup begitu dinamis bung. Tapi kau bertahan dengan sikap dan sifat “keakuanmu”. Kau hanya ingin dimengerti. Kau terlalu apa adanya.

Kau tahu? Saat itu saya hampir meninjumu biar kau terjungkal, kepalamu terbentur tanah, dan kau sadar betapa saya kecewa setengah mati padamu. Namun, lagi-lagi kemengertian saya padamu mengalahkan emosi itu. Saya terlalu memahamimu sampai saya paham keakuanmu.

Saya malu padamu karena telah mengecewakanmu. Maaf.”

Itu kalimat yang kerap saya dengar, bung dari mulutmu. Dan kau ulangi lagi di malam itu. Tanpa ada solusi untuk ubah diri biar kecewa saya luntur. Tanpa ada pertanyaan apa mau saya.

Kau terlalu apa adanya.

Jadi, kita berbeda jalan saja. Saya belok.”

Raut wajahmu tak yakin saat mengucapkannya. Tapi kau ulangi sekal lagi dan sekali lagi. Kuhitung tiga kali kau mengucapkan kalimat itu. Dan jadilah demikian.

Lantas, kita akhiri pembicaraan dengan berjabat tangan dan lempar senyum.

Dan, malam ini saya teringat malam lalu di taman kota dan malam satu setengah tahun lalu. Ada kesamaan rupanya. Kita buka dan tutup perjalanan kita dengan manis.


Utan Kayu, malam ini.