Monday 24 December 2012

cảm ơn, Hồ Chí Minh


Awalnya, keisengan belaka mendapati tiket promosi Air Asia, maskapai penerbangan yang kerap kasih harga murah tiket pesawat. Terbang dari Jakarta ke Ho Chi Minh City, Vietnam harganya Rp475.000. Karina, kawan kuliah saya, mengabari soal tiket itu. Dia tertarik membeli tiket, melepas sedikit carut-marut Jakarta, dan pesiar di negeri Paman Ho. Saya juga tertarik.
Namun, awal dari segala awal ketertarikan kami adalah sejarah negara itu. Dia pernah menganut Marxisme-Leninisme, menyimpan cerita perang Vietnam, hingga dihampiri militer Amerika Serikat yang berniat mencegah penyebaran komunisme.
Singkat kata, tiket promosi itu terbeli. Selanjutnya, kami mencari tiket terbang dari Jakarta ke Ho Chi Minh, juga Hanoi, dan memesan tempat inap ala backpacker. Yap, tema perjalanan ini backpacker, duit pas-pasan dan tekad besar. Karina jadi pahlawan di sini. Dia mencari penginapan di kawasan backpacker, memesan lewat kartu kreditnya, sampai mencari kartu kredit lain karena batas pemakaian kartu kreditnya habis. Komunikasi kami soal perjalanan itu via BBM dan satu kali pertemuan. Selang hari, tanggal itu datang. 6 Desember kami memulai perjalanan, terbang ke Ho Chi Minh.

Tempat inap pertama di Saigon Backpackers hostel, letaknya di District 1, Pham Ngu Lao. Harganya kalau tak salah ingat Rp80.000 per malam per orang. Dapat makan pagi pula. Makan pagi diiringi ibu yang entah siapa namanya mengupas telur puyuh.   




Mobil jip yang membawa Presiden Duong Van Minh dari Independence Palace ke Stasiun Radio Saigon. Di sana, 30 April 1975, dia mendeklarasikan penyerahan pemerintahan revolusioner.

Pembunuhan massal di desa My Lai. Foto yang diambil dari The Guardian ini dipajang di Reunification Palace.
Patung berkuda Jenderal Tran Nguyen Han. Letaknya di Distrik 1, tidak jauh dari Pham Ngu Lao, di seberang pasar Ben Thanh.

Patung berkuda Jenderal Tran Nguyen Han. Letaknya di Distrik 1, tidak jauh dari Pham Ngu Lao, di seberang pasar Ben Thanh.

Reunification Palace

Ruang latihan menembak di Reunification Palace

Koleksi kaki gajah asli di Reunification Palace

Koleksi tanduk, lantai 3 Reunification Palace

Reunification Palace

Mimbar Paman Ho di Reunification Palace
Reunification Palace. Kediaman presiden sekaligus penanda sejarah berakhirnya Perang Vietnam 1975. Banyak ruangan mewah di dalamnya.    



Semacam burung garuda, lambang Indonesia


 

yang segar di pasar Ben Thanh

Presiden pertama Ngo Dinh Diem


Pasar Ben Thanh, mesti siap-siap tawar harga

Saturday 15 September 2012

berbagi di taman suropati


Dua pekan lalu saya ke Taman Suropati di Menteng, Jakarta Pusat. Kali ini saya tidak berdua. Saya bawa empat kawan yang senang tertawa. Saya selalu suka duduk di taman ini. Bahkan, bagi saya ini tempat publik yang paling menyenangkan di Jakarta.
Bagaimana tidak? Setiap saya injakkan kaki ke taman ini, ada saja penyapa yang membuat saya benar-benar jadi manusia. Penyapa kali pertama adalah tukang kopi keliling. Dering sepedanya membahana menyambut saya, diiringi ucapan “kopi teh, panas dingin ada.” Kalau saya berjalan cari lahan duduk, pasti ada seorang tukang kopi mengikuti dari belakang sambil menggoes sepedanya. Dia berharap kopi tehnya dibeli.  
Penyapa kedua adalah tukang rokok keliling. Nah, biasanya manusia satu ini cuma selewat di depan muka saya, menawari rokok, lalu pergi. Jika rokok sudah habis, saya beli. Jika tidak, terimakasih saja.
Pohon rindang, si penyapa ketiga. Ah, makhluk satu itu.. saya suka pohon-pohon tinggi nan rindang di sana, selalu teduh dibuatnya.
Seperti itulah ketika saya bawa kawan-kawan saya yang suka tertawa. Namun, kali itu suasana agak berbeda. Sebab, ada sekelompok pemain kulintang senandungkan musik aduhai merdunya di tengah taman. Kebanyakan musik daerah yang mereka mainkan. Lupa saya judul-judulnya. Tapi, saat itu saya ikut bersenandung karena masih tersisa ingatan hafalan lagu-lagu semasa kecil dulu. Beberapa pengunjung taman ikut bergoyang saat musik mainkan Sajojo.

Sekitar lima jam kami di sana mengiringi gelap, walau tidak sampai habiskan malam. Bagi-bagi cerita, tertawa sana-sini, duduk bersila hingga tidur-tiduran. Pulang saya pastikan kami akan bersua lagi dua pekan mendatang di bawah pohon yang sama.

Friday 6 April 2012

balada husein dan rindu itu

Baru saja saya kirim SMS ke Pak Husein. Dia kawan saya, sekitar 40 tahun, tinggal di Pulau Kelapa, satu pulau di Kepulauan Seribu sana. Saya bilang mau main ke pulau. Dia balas SMS saya cepat, “sudah lupa dengan pulau ya?” Saya balas diawali tawa “hahaha.. tidaklah, pak. Rindu saya pada itu pulau.”

Dan, kami sepakat bertemu pekan depan.

Terakhir kali saya datang ke sana akhir Desember 2011, hampir masuk angin barat kata orang pulau. Saya berkenalan dengan Pak Husein karena tugas liputan saat saya di halaman agribisnis. Sebenarnya bukan tugas liputan dari kantor, tapi saya lolos dapat beasiswa liputan sebuah lembaga wartawan ternama di Indonesia. Saya kirim proposal tentang dampak perubahan iklim terhadap nelayan di Kepulauan Seribu, lolos, dapat dana liputan, dan saya pergi ke sana. Hitung-hitung, 4 kali saya ke sana, masing-masing tiap akhir pekan.

Perjumpaan saya dengan pak Husein terjadi ketika saya dirundung lemas belum dapat narasumber. Waktu itu, awal Desember, saya naik kapal dari Pulau Seribu ke Pulau Kelapa. Di atas kapal, duduk di kabinnya, seorang bapak memandangi saya agak lama. Dia buka tanya saya ke mana, saya jawab, dan mengalirlah percakapan.

Pak Husein nelayan sejak berusia 16 tahun. Seperti kebanyakan nelayan, dia sudah berkawan dengan laut sejak tangisnya pecah keluar dari kandungan. Ayahnya pelaut, sudah mengenalkan alam laut kepadanya sejak bocah. Sering dia temani ayahnya cari ikan di sekitar Pulau Kelapa. Dari ayahnya dan nelayan-nelayan lain dia belajar membaca angin dan langit. Setibanya di rumah, Husein kecil ikut bantu bersihkan ikan sisa tangkapan yang tidak dijual ke tengkulak.

Hari-harinya begitu hingga pertengahan 2011 hidupnya berubah. Pak Husein tidak hanya jadi nelayan, dia lakoni pula kuli dermaga di pulau-pulau yang baru bermunculan milik orang-orang kaya. Katanya, penghasilan dia lumayan besar ketimbang jadi nelayan. Saban hari dari nguli dia bisa peroleh Rp60.000. Sedangkan, dari melaut dia cuma bisa hasilkan Rp150.000, itu kalau dapat ikan selar 50 kg setelah dua hari terombang-ambing di laut. Seringkali tangkapannya kurang dari 50 kg.

Sampai Desember dia lakoni dua pekerjaan itu, sambil sesekali keliling ke pulau-pulau lain mengumpulkan fotokopi KTP warga untuk meloloskan seorang calon independen gubernur Jakarta. Kalau KTP sudah terkumpul banyak di tangan, dia bawa itu benda ke Jakarta dan menyerahkannya ke sekretariat. Bila ingatan saya benar, dari sebuah KTP dia dapat Rp1.000. Tak seberapa memang. Tapi, bagi Pak Husein itu bentuk bantuannya untuk menggolkan si kawan lama.

Kali terakhir bertemu Pak Husein Januari lalu. Kami obrol banyak hal menyenangkan di sebuah tempat ngopi di Jakarta Timur. Dia datang ke sana untuk sodorkan kumpulan fotokopi KTP sekaligus jenguk anak perempuannya yang kerja jadi tukang sapu di sekretariat.

Pak Husein ini suka bercerita lucu, kadang konyol sampai saya bingung ceritanya sungguh fakta atau rekaan belaka. Macam ini:

“Suatu hari saya melaut dengan seorang kawan dari Flores di sekitar Seribu. Mendadak angin kencang dan langit gelap. Perahu saya sampai terbalik dan menenggelamkan kami. Saya bisa berenang makanya saya tidak tenggelam. Waktu saya sudah di permukaan laut, kawan saya ini belum muncul kepalanya. Tapi saya yakin nanti kepalanya timbul karena orang tenggelam itu masuk dulu ke dalam air baru nanti muncul lagi di permukaan kemudian turun tenggelam. Nah, ternyata benar kawan saya itu muncul. Mukanya tegang dan berteriak-teriak ‘Tuhan Yesus tolong saya!’ Saya pegang tangannya sambil bilang ‘Tuhan Yesus sudah datang.’ Saya bawa dia ke dekat perahu yang terbalik sehingga dia bisa pegang kayu dan masih bisa hidup.”

Pak Husein bilang pekan depan kami main ke laut dengan perahu kawannya. Semoga perahu itu tidak terbalik. Saya juga rindu dengan istrinya, Ibu Rapiah. Dia pernah menelepon saya bilang mau bikin ikan pari pakai parutan kelapa kalau saya datang.

Sunter, hujan masih belum juga pulang.

Friday 9 March 2012

Rutinitas

Ada satu pagi saya terhenyak setelah bangun tidur yang tidak lelap. Saya temukan diri saya hidup dalam rutinitas yang teramat sangat rutin. Saya buat ingatan saya mundur, ke beberapa hari lalu, ke beberapa minggu silam. Dan, hampir pasti 100% semuanya serupa.

Begini isi rutinitas itu. Bangun, saya ambil dan buka netbook buat cek berita di beberapa laman, beranjak keluar kamar, kemudian minum air putih segelas dua gelas. Kembali lagi ke kamar, lihat jadwal liputan, mencari materi liputan di internet. Carilah itu materi di berbagai laman, tengok jam, dan saya terkejut bahwa jam liputan sudah hampir tiba.

Saya keluar kamar, ambil handuk, berlari-lari kecil ke kamar mandi, gosok badan secepat saya bisa, beres-beres, dan jadilah saya berkemeja dengan jins seadanya. Ambil handphone saya kirim sms ke tukang ojek minta diantar jam sekian. Terburu-buru saya matikan netbook, gulung berbagai kabel – charger hp, charger netbook, earphone –, dan memasukkan benda-benda yang saya kira berguna untuk liputan nanti ke dalam tas. Pakai sepatu di depan kamar, lantas berteriak pamit ke manusia yang ada di rumah, juga ke dua anjing dan seekor burung hantu.

Sampai di depan pagar rumah saya temukan tukang ojek sudah menanti. Sambil naik saya berujar “Ke Sudirman (atau apalah tempat liputan) dan jalan cepat ya, pak.”

Mulailah saya buka sms, bbm, e-mail, dan whatsapp di atas motor yang mengebut. Baca cepat dan membalas pesan. Tiba di Kemayoran saya akan tengok kanan-kiri melihat kendaraan yang saling ngebut macam di arena sirkuit. Tapi, tidak begitu lama karena saya kembali melihat handphone. Motor yang saya tumpangi bergerak semakin lambat karena masuk wilayah Jakarta Pusat yang pastinya dipadati banyak kendaran. Saya akan mengeluh ke bapak ojek dengan keluhan yang itu-itu juga “duh, macet ya pak.” Lantas, si bapak ojek akan meliuk-liukkan motornya mencari celah jalan yang agak lowong untuk ditembus. Dan sampailah kami di tempat liputan saya.

Rutinitas itu saya jalani lima hari dalam sepekan. Gila! Saya ini macam robot, tak bernyawa.

Saya duduk di atas kasur, pagi itu, membayangkan keping-keping rutinitas yang saya lakukan. Dan, saya merasa sepi hati, kosong pikiran. Saya pandangi itu gelas kopi yang masih menyisakan setengah kopi hitam. Mungkin semacam itu, setengah kesadaran diri saya kosong. Atau mungkin lebih.

Agak sentimentil, saya jadi sedih. Menghitung segala hal manusiawi yang sudah luput diambil rutinitas pagi. Tidak lagi saya dengar mama bercerita soal pasiennya yang hamil muda, si tetangga yang kerjanya sebagai tengkulak, si bapak anu yang tidak diperhatikan lagi anaknya. Tak dengar lagi manusia di rumah bicara soal Bruno yang kebelet kawin dengan anjing depan rumah atau si Burhan yang sudah bisa terbang hingga atap rumah.

Tak lagi saya temukan diri saya duduk menyeruput kopi sambil nonton berita atau baca jadwal film bioskop di koran.

Banyak kisah hilang, banyak kegiatan yang saya ingin lakukan tanpa saya sadari kandas begitu saja. Dan, itu menyedihkan. Sangat.

Sunter, setelah hujan.