Friday 9 March 2012

Rutinitas

Ada satu pagi saya terhenyak setelah bangun tidur yang tidak lelap. Saya temukan diri saya hidup dalam rutinitas yang teramat sangat rutin. Saya buat ingatan saya mundur, ke beberapa hari lalu, ke beberapa minggu silam. Dan, hampir pasti 100% semuanya serupa.

Begini isi rutinitas itu. Bangun, saya ambil dan buka netbook buat cek berita di beberapa laman, beranjak keluar kamar, kemudian minum air putih segelas dua gelas. Kembali lagi ke kamar, lihat jadwal liputan, mencari materi liputan di internet. Carilah itu materi di berbagai laman, tengok jam, dan saya terkejut bahwa jam liputan sudah hampir tiba.

Saya keluar kamar, ambil handuk, berlari-lari kecil ke kamar mandi, gosok badan secepat saya bisa, beres-beres, dan jadilah saya berkemeja dengan jins seadanya. Ambil handphone saya kirim sms ke tukang ojek minta diantar jam sekian. Terburu-buru saya matikan netbook, gulung berbagai kabel – charger hp, charger netbook, earphone –, dan memasukkan benda-benda yang saya kira berguna untuk liputan nanti ke dalam tas. Pakai sepatu di depan kamar, lantas berteriak pamit ke manusia yang ada di rumah, juga ke dua anjing dan seekor burung hantu.

Sampai di depan pagar rumah saya temukan tukang ojek sudah menanti. Sambil naik saya berujar “Ke Sudirman (atau apalah tempat liputan) dan jalan cepat ya, pak.”

Mulailah saya buka sms, bbm, e-mail, dan whatsapp di atas motor yang mengebut. Baca cepat dan membalas pesan. Tiba di Kemayoran saya akan tengok kanan-kiri melihat kendaraan yang saling ngebut macam di arena sirkuit. Tapi, tidak begitu lama karena saya kembali melihat handphone. Motor yang saya tumpangi bergerak semakin lambat karena masuk wilayah Jakarta Pusat yang pastinya dipadati banyak kendaran. Saya akan mengeluh ke bapak ojek dengan keluhan yang itu-itu juga “duh, macet ya pak.” Lantas, si bapak ojek akan meliuk-liukkan motornya mencari celah jalan yang agak lowong untuk ditembus. Dan sampailah kami di tempat liputan saya.

Rutinitas itu saya jalani lima hari dalam sepekan. Gila! Saya ini macam robot, tak bernyawa.

Saya duduk di atas kasur, pagi itu, membayangkan keping-keping rutinitas yang saya lakukan. Dan, saya merasa sepi hati, kosong pikiran. Saya pandangi itu gelas kopi yang masih menyisakan setengah kopi hitam. Mungkin semacam itu, setengah kesadaran diri saya kosong. Atau mungkin lebih.

Agak sentimentil, saya jadi sedih. Menghitung segala hal manusiawi yang sudah luput diambil rutinitas pagi. Tidak lagi saya dengar mama bercerita soal pasiennya yang hamil muda, si tetangga yang kerjanya sebagai tengkulak, si bapak anu yang tidak diperhatikan lagi anaknya. Tak dengar lagi manusia di rumah bicara soal Bruno yang kebelet kawin dengan anjing depan rumah atau si Burhan yang sudah bisa terbang hingga atap rumah.

Tak lagi saya temukan diri saya duduk menyeruput kopi sambil nonton berita atau baca jadwal film bioskop di koran.

Banyak kisah hilang, banyak kegiatan yang saya ingin lakukan tanpa saya sadari kandas begitu saja. Dan, itu menyedihkan. Sangat.

Sunter, setelah hujan.