Friday 6 April 2012

balada husein dan rindu itu

Baru saja saya kirim SMS ke Pak Husein. Dia kawan saya, sekitar 40 tahun, tinggal di Pulau Kelapa, satu pulau di Kepulauan Seribu sana. Saya bilang mau main ke pulau. Dia balas SMS saya cepat, “sudah lupa dengan pulau ya?” Saya balas diawali tawa “hahaha.. tidaklah, pak. Rindu saya pada itu pulau.”

Dan, kami sepakat bertemu pekan depan.

Terakhir kali saya datang ke sana akhir Desember 2011, hampir masuk angin barat kata orang pulau. Saya berkenalan dengan Pak Husein karena tugas liputan saat saya di halaman agribisnis. Sebenarnya bukan tugas liputan dari kantor, tapi saya lolos dapat beasiswa liputan sebuah lembaga wartawan ternama di Indonesia. Saya kirim proposal tentang dampak perubahan iklim terhadap nelayan di Kepulauan Seribu, lolos, dapat dana liputan, dan saya pergi ke sana. Hitung-hitung, 4 kali saya ke sana, masing-masing tiap akhir pekan.

Perjumpaan saya dengan pak Husein terjadi ketika saya dirundung lemas belum dapat narasumber. Waktu itu, awal Desember, saya naik kapal dari Pulau Seribu ke Pulau Kelapa. Di atas kapal, duduk di kabinnya, seorang bapak memandangi saya agak lama. Dia buka tanya saya ke mana, saya jawab, dan mengalirlah percakapan.

Pak Husein nelayan sejak berusia 16 tahun. Seperti kebanyakan nelayan, dia sudah berkawan dengan laut sejak tangisnya pecah keluar dari kandungan. Ayahnya pelaut, sudah mengenalkan alam laut kepadanya sejak bocah. Sering dia temani ayahnya cari ikan di sekitar Pulau Kelapa. Dari ayahnya dan nelayan-nelayan lain dia belajar membaca angin dan langit. Setibanya di rumah, Husein kecil ikut bantu bersihkan ikan sisa tangkapan yang tidak dijual ke tengkulak.

Hari-harinya begitu hingga pertengahan 2011 hidupnya berubah. Pak Husein tidak hanya jadi nelayan, dia lakoni pula kuli dermaga di pulau-pulau yang baru bermunculan milik orang-orang kaya. Katanya, penghasilan dia lumayan besar ketimbang jadi nelayan. Saban hari dari nguli dia bisa peroleh Rp60.000. Sedangkan, dari melaut dia cuma bisa hasilkan Rp150.000, itu kalau dapat ikan selar 50 kg setelah dua hari terombang-ambing di laut. Seringkali tangkapannya kurang dari 50 kg.

Sampai Desember dia lakoni dua pekerjaan itu, sambil sesekali keliling ke pulau-pulau lain mengumpulkan fotokopi KTP warga untuk meloloskan seorang calon independen gubernur Jakarta. Kalau KTP sudah terkumpul banyak di tangan, dia bawa itu benda ke Jakarta dan menyerahkannya ke sekretariat. Bila ingatan saya benar, dari sebuah KTP dia dapat Rp1.000. Tak seberapa memang. Tapi, bagi Pak Husein itu bentuk bantuannya untuk menggolkan si kawan lama.

Kali terakhir bertemu Pak Husein Januari lalu. Kami obrol banyak hal menyenangkan di sebuah tempat ngopi di Jakarta Timur. Dia datang ke sana untuk sodorkan kumpulan fotokopi KTP sekaligus jenguk anak perempuannya yang kerja jadi tukang sapu di sekretariat.

Pak Husein ini suka bercerita lucu, kadang konyol sampai saya bingung ceritanya sungguh fakta atau rekaan belaka. Macam ini:

“Suatu hari saya melaut dengan seorang kawan dari Flores di sekitar Seribu. Mendadak angin kencang dan langit gelap. Perahu saya sampai terbalik dan menenggelamkan kami. Saya bisa berenang makanya saya tidak tenggelam. Waktu saya sudah di permukaan laut, kawan saya ini belum muncul kepalanya. Tapi saya yakin nanti kepalanya timbul karena orang tenggelam itu masuk dulu ke dalam air baru nanti muncul lagi di permukaan kemudian turun tenggelam. Nah, ternyata benar kawan saya itu muncul. Mukanya tegang dan berteriak-teriak ‘Tuhan Yesus tolong saya!’ Saya pegang tangannya sambil bilang ‘Tuhan Yesus sudah datang.’ Saya bawa dia ke dekat perahu yang terbalik sehingga dia bisa pegang kayu dan masih bisa hidup.”

Pak Husein bilang pekan depan kami main ke laut dengan perahu kawannya. Semoga perahu itu tidak terbalik. Saya juga rindu dengan istrinya, Ibu Rapiah. Dia pernah menelepon saya bilang mau bikin ikan pari pakai parutan kelapa kalau saya datang.

Sunter, hujan masih belum juga pulang.