Timur Indonesia selalu menarik. Mengawali
2015 – sebenarnya terlambat disebut ‘mengawali’ – saya meluncur ke Pulau Seram bersama
enam kawan. Rencana sejak akhir tahun lalu itu akhirnya terjadi akhir Februari
silam.
Tujuan utama saya Pantai Ora, yang
digadang-gadang banyak orang di media sosial sebagai The Little Maldives-nya
Indonesia. Tiba di Bandara Pattimura, kami segera menuju Pelabuhan Tulehu. Satu
jam perjalanan mobil.
Harus segera karena kapal feri yang akan
mengantar kami ke Pulau Seram berangkat dari Tulehu jam 9 pagi, sedangkan kami
tiba di bandara jam 7. Di atas feri Express Cantika 88, saya memilih duduk di
balkon kapal. Menikmati segarnya angin Ambon.
Dua jam perjalanan menyusuri laut Ambon,
tibalah kami di Pelabuhan Amahai, pelabuhan utama di Kota Masohi, Pulau Seram. Hiruk-pikuk
meruak di tengah gigitan panas matahari. Dari Amahai kami melanjutkan
perjalanan ke Desa Saleman. Sekira tiga jam perjalanan mobil yang kami tumpangi
membelah hutan.
Sebagian besar jalan aspal sudah mulus, tapi
di beberapa bagian aspal mengeropos dan menimbulkan lubang cukup besar. Ada
satu kali kami harus turun dari mobil yang akan berjuang melewati aspal
setengah longsor.
Sepanjang jalan pak supir memutar lagu-lagu
pop daerah Ambon. Ada satu penyanyi yang saya ingat namanya, Nada Latuharhary. Suaranya
indah, wajah cantik, dan bodinya aduhai.
Lagu-lagu pop daerah Ambon akhirnya
mengantarkan kami hingga dermaga di Desa Saleman. Dari dermaga kami melanjutkan
perjalanan menggunakan perahu ramping yang disebut jungkung. Jauh di depan mata
rumah laut di pantai Ora terlihat sudah, layaknya foto yang dipajang di Google
image dan media sosial.
Namanya Ora Beach Eco Resort. Ada tujuh rumah
laut di sana. Paling ujung ukurannya lebih besar, itu rumah yang kami tempati
selama dua malam. Di belakang rumah ada sepetak laut yang bisa jadi tempat
mandi-mandi sore.
Saya senang duduk di teras rumah laut kala
sore. Duduk selonjor kaki, pandangi laut tenang dan langit yang tidak dikuasai
senja. Cantik.