Friday 12 December 2008

berbagi

Lama-lama gue nyerah juga.” Saya terkejut dengar ucapan yang keluar dari mulut kawan saya. Saya tengokkan kepala dan naikkan alis tanda tanya. “Cape gue begini melulu, tanya sana-sini, gonta-ganti metode,” lanjutnya. Mukanya tak lagi sesumringah waktu kami baru sampai di rumah makan. Lapar membelit sejak siang, tapi saya tahu bukan karena lapar wajahnya jadi masam begitu. Pastilah soal skripsi.

Janganlah, jangan menyerah,” ucap saya. Sebenarnya saya pun tak tahu arti kalimat yang baru saya ucapkan itu. Saya juga dalam kondisi terjepit, berada di antara rasa harus berjuang dan tidak berjuang. Ia dan saya sedang pusing membuat penelitian yang, dalam bahasa saya, “bukan penelitian saya”. Keinginan saya untuk membuat penelitian tentang pembingkaian berita ternyata kandas. Saya harus berubah haluan, mengganti paradigma dan rumusan masalah. Pekerjaan yang tak mudah. Sedangkan, kawan saya itu harus mencari-cari metode yang sesuai akibat pemikiran dosen.

Hitung punya hitung, sudah tiga minggu saya dan dia berkutat dengan segala keinginan di luar diri sendiri. Bagi saya itu tidak mengenakkan. Ketika harus membaurkan keinginan saya dan keinginan orang lain, lantas mengaku dan mengatasnamakan pembauran itu sebagai keinginan diri sendiri. Padahal, ia tidak murni, berasal dari luar, bukan dari ego sendiri. Dan, tibalah saya di sebuah posisi, antara berjuang dan menyerah, yang membuat saya tak cukup bersemangat.

“Beruntung, ya, mpok kita bareng-bareng. Jadi gue ga merasa bosan. Gue cerita masalah gue ke lo padahal lo juga lagi bermasalah. Haha…”, kata kawan saya. “Ya, kita saling berbagi aja,” balas saya.

Berbagi masalah, derita, kesenangan, kesialan, dan sebagainya kepada kawan jadi kekuatan buat diri saya. Kawan saya pun merasa begitu. Saya ingat dua minggu lalu kami pergi ke dua perpustakaan di Jakarta buat mencari data. Kalau capai kami keluar perpustakaan, mencari warung, pesan minum, dan duduk mengobrol. Obrolan seputar hasil pencarian data dan masalah-masalah penelitian. Tak pernah bosan kami berkeluh-kesah, memaki-maki, dan menertawakan diri sendiri. Sampai hari ini.

Saya teringat pesan pendek yang pernah kawan saya itu kirimkan di bulan Agustus. Ia katakan ia berharap pada waktunya, ketika skripsi dimulai, kami dapat saling bantu. Saat itu sudah datang, kawan. Cuma bermodal “berbagi” rasanya ada lagi semangat di diri ini. Ah, senangnya miliki kawan yang bisa jadi tempat bersandar di kala saya berdiri hanya dengan satu kaki.


-Jatinangor di suatu malam dengan hujannya-

bersyukurlah saya berkawan

Bersyukurlah saya punya kawan-kawan yang selalu menguatkan saya. Berterimakasihlah saya kepada mereka yang buat saya semakin mengenal diri ini.


Sudah dua minggu saya berkutat dengan mencari tahu kasus dan metodologi untuk pra-skripsi. Selama itu pula saya menengadah kepada kawan-kawan di Jatinangor dan Jakarta. Ketika saya lunglai menghadapi kondisi kampus saat itu pula saya memaki-maki ke kawan-kawan soal itu. Ketika pikiran saya terantuk pada kebingungan saat itu pula saya biarkan mulut ini melontarkan segala kebingungan di diri. Ketika saya bersemangat memulai sesuatu saat itu pula rasa saya bagi ke mereka. Ah, mereka selalu ada buat saya. Ah, mereka selalu peduli akan saya.

Sampai malam tadi seorang sahabat baik sekali lagi, ya sekali lagi, memberi kekuatan kepada saya untuk melangkah. Memberi saya keyakinan bahwa semuanya tidak berakhir hanya di sini, di sebuah penelitian bernama skripsi. Saya sadar saya harus total mengerjakan penelitian ini tanpa menafikan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menanti. Bukan perkara saya temukan berbagai kalimat bernada pengetahuan hanya untuk saya tampilkan di penelitian, tapi kalimat-kalimat itu juga saya cerap untuk diri saya. Ini pengetahuan untuk diri saya sendiri. Mungkin saja nanti berguna untuk hal lain.

Dan, semuanya itu butuh pengorbanan: pikiran, tenaga, waktu dan uang. Saat ini saya merangkak mencari tahu apa yang harus saya tahu. Cukup lelah memang. Namun, saya tenang karena masih ada kawan-kawan saya yang menunggu saya untuk berdiri. Menanti saya katakan bahwa saya bisa.