Wednesday 3 December 2014

Betapa...

Satu sore kamu kirimkan pesan bahwa kamu mau menyumbangkan usia hidupmu ke saya supaya hidup saya panjang. Agar saya dapat berkeliling ke banyak tempat dan merasakan surga dunia. Supaya saya bisa bernafas panjang menikmati kehidupan.
Padahal, waktu yang kamu habiskan bertahun-tahun terakhir ini hanya berisi strategi untuk menguasai saya. Tega benar kamu mau memberikan waktu kuasamu itu untuk saya.  
Kamu memang tidak pernah menghargai dirimu sebagai dirimu, seperti kamu tidak pernah menghargai saya sebagai saya, saya sebagai manusia yang berkuasa atas diri saya.
Sedemikian teganya kamu mengirim ucapan selamat ulang tahun buat mama saya dan permintaan maaf kepada saya dan keluarga setelah kamu menyia-nyiakan saya sebagai manusia yang berkuasa atas diri saya.
Menyedihkannya kamu ketika kamu masih merasa punya kuasa atas diri saya padahal kita sudah berpisah rasa sejak setahun lalu. Tetiba kuasamu muncul lagi hanya karena saya bercerita punya kawan baru yang menyenangkan. Iya, kamu selalu merasa memiliki saya. Sekali lagi, memiliki.

Sungguh hebat rasa memilikimu itu sampai saya harus duduk di pojok ruangan ini terkenang lagi penguasaanmu kala itu. Betapa..   

Tuesday 21 October 2014

Instan

Pernah baca novel yang sinopsisnya menarik hati? Membacanya terburu-buru, pakai nafsu tinggi untuk dapat klimaks? Lantas, melahap ujung cerita dengan setumpuk fantasi yang ternyata tidak memuaskan hati karena rupanya jauh dari sinopsis? Itu menyakitkan.
Atau begini. Kelaparan setengah mati dan di depan mata cuma temukan indomi kuah pakai telur. Makanlah itu, lantas bersyukur karena perut tak lagi keroncongan dan tidak jadi mati. Tapi, itu cuma sesaat. Setelahnya, rasa perih muncul dan sedikit pening karena otak dimakan mecin. Pada akhirnya, itu menyakitkan.
Maka, baiklah saya simpulkan – meski prematur – bahwa segala sesuatu yang instan dilahap itu menyakitkan di akhir cerita.

Selamat siang untuk segala hal yang instan dan menyakitkan. Mungkin cerita-cerita seperti itu baiknya dibuang ke tempat sampah. Biar membusuk dan baunya tidak meruap ke mana-mana. 

Saturday 18 October 2014

Sabtu Senang

Petang hari. Saya duduk sesap kopi bersama seorang kawan di sebuah kedai di Cikini. Baru saja kami habiskan waktu di museum nasional, tepat di seberang halaman Monumen Nasional. Melihat arca Hindu berbagai rupa, dari Dewa Siwa, Wisnu, Indra, hingga penjaga pintu Mahakala dan Nandiswara.
Ini kali ketiga saya ke museum itu. Beda kawan, tapi sama yang dirasakan. Ingin hidup di masa prasejarah, melihat perupa mengukir arca. Di sebuah kelokan, saya dapati arca menhir dari Nusa Tenggara Timur. Arca ini dipercaya sebagai penolak bala.
Saya abadikan dalam ponsel itu arca. Ya, saya tertarik mengabadikannya karena arca itu berasal dari tanah nenek moyang saya, Nusa Tenggara Timur. Sayang, saya tidak lama habiskan waktu di sana untuk nikmati semua arca.


Kawan saya kelaparan. Daripada dia pingsan gegara menahan lapar, lebih baik kami pergi dari museum dan mencari makan. 
Ini Sabtu, hari libur besar buat saya. Saya ingin menghabiskan tumpukan keinginan saya di Sabtu. Hari besar yang tidak dapat saya nikmati dibandingkan hari lain dalam satu pekan.
Dan, sekarang saya duduk di kedai kopi, ditemani kawan dan secangkir kopi mandailing. Menyenangkan.