Tuesday 25 October 2011

Pulang Bawa Ngantuk

“Pulang bawa ngantuk. Lebih baik Oni bawa sosis,” kata bapak.

Saya cuma senyum sambil melirik sedikit ke bapak saya. Sambil berjalan bawa kantuk ke dalam kamar. Dalam pikiran saya benarkan itu kalimat. Saya memang pulang bawa kantuk, terlihat dari mata yang selalu meredup minta dibawa lelap. Sedangkan, Oni adik saya yang baru satu bulan bekerja di sebuah perusahaan penghasil sosis asal Filipina bisa bawa pulang sekardus sosis. Katanya, sosis itu hasil kelebihan produksi pabrik.

Entah berapa banyak batang sosis itu. Waktu saya tengok freezer kulkas, tumpukan sosis sudah merambah bagian atas-bawah-kanan-kiri freezer. Tak ada tempat tersisa. Kardus kosong ditinggal di sebelah kulkas.

Saya iyakan kalimat bapak karena saya tak membawakan sosis seperti yang diperbuat adik. Saya amini kalimatnya karena tak bawakan dia cerutu Adipati kesukaannya. Saya akui kalimatnya karena tak bawakan rokok Gudang Garam Merah favoritnya.

Padahal, hampir tiap pagi sebelum saya berangkat dari rumah dia lontarkan kalimat sindiran minta dibawakan cerutu atau rokok. “Rokok sudah habis.” Atau “pembantu dikasih gaji, orang rumah cuci baju sampai gembok pagar tidak dikasih gaji.”

Bapak tiap hari cuci baju keluarga. Sehari tiga kali dia bisa cuci baju. Sambil menunggu baju kering, dia baca buku atau main organ. Kalau baju sudah ringan meliuk-liuk ikuti arah angin pertanda sudah kering, dia kumpulkan baju-baju itu, kemudian menyetrikanya. Malam hari, setelah saya masuk ke dalam rumah, dia ambil gembok dan mengunci rapat pagar. Itu memang pekerjaannya. Buat sebagian besar kawan saya yang tahu pekerjaan bapak saya, pasti heran dan bertanya “kok begitu kerjanya?” Ya, memang itu pekerjaannya. Bapak saya akan marah kalau pekerjaannya dirampungkan orang lain.

Mungkin saya terlalu sibuk dengan diri dan pekerjaan hingga tidak ingat permintaan bapak. Setelah kalimat sindiran menghujani telinga, keluar pagar rumah jalan beberapa langkah, saya sudah lupa kalimat itu. Sudah pasti kembali ke rumah saya tak bawa oleh-oleh. Cuma kantuk yang saya bawa. Maafkan saya, pak. Besok, setelah saya tulis ini, saya pastikan ingat. Sudah saya masukkan masukkan agenda beli cerutu Adipati di alarm handphone.

Sunday 4 September 2011

cemburu

Datangnya malam kemarin, subuh malah sekitar jam 3. Dia terasa saat saya buka akun facebook-nya. Saya melihat banyak pengetahuan mengalir masuk ke dirinya. Pengetahuan yang dulu ingin saya serap, tapi tak pernah sempat. Pengetahuan itu ia makan, kunyah, ditelan, dan dicerna. Begitu terus tanpa berkesudahan hingga rasanya pengetahuan itu begitu melimpah di dirinya.

Termenung saya. Cemburu itu hinggap. Ah, rasanya tak enak cemburu terhadap teman sendiri.

Tapi dari mana cemburu itu bisa datang? Pastinya karena sesuatu yang saya harapkan ada di diri saya, kenyataannya tidak ada di saya. Melainkan ada di dia. Saya tidak mau berhenti hingga di rasa cemburu itu. Pikir-pikir, dia punya kondisi materialis yang mendukungnya menyerap pengetahuan itu. Dan kondisi materialis itu adalah waktu luang. Itu yang tidak saya punya!

Kalau sudah terbentur pada alasan memiliki-kondisi-materialis, saya menyerah. Menyerah berpikir lebih jauh lagi, menyerah untuk merasa lagi. Dan, saya harus merendah hati menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa dia punya waktu luang, saya tidak.

Ya, saya harus akuir saya tidak punya waktu luang. Habis waktu saya untuk kerja, melewati kemacetan Jakarta, dan istirahat karena lelah bekerja dan merayapi jalanan Jakarta. Alangkah menyedihkannya menjadi pekerja ibukota, tak berwaktu luang, tak meresap pengetahuan, sehingga hasilkan rasa cemburu pada teman sendiri.

Sunday 3 July 2011

kita, taman, dan cerita

Sering kita duduk menyambut malam di taman-taman di ibukota. Entah siapa yang pertama kali mengajak. Cuma kata ‘taman’ yang terlontar dari mulut. Tak terlintas kedai kopi, mol, atau resto. Mungkin karena kita menganggap taman tempat terindah mengobrol yang dipayungi langit megah. Atau jangan-jangan kita menilai taman sebagai tempat publik yang mengandung privasi. Karena seperti itulah penggambaran diri kita.

Kau masih ingat apa yang pertama kali kita lakukan saat sampai di taman? Ya ya ya itu dia, mencari kopi hitam. Kopi instan yang diseduh air panas di dalam gelas plastik. Itu bukan kopi yang baik bagi tubuh kita karena ada zat-zat beracun yang keluar saat plastik terkena air panas. Saya pernah bilang begitu, bukan? Dan kamu mengangguk, mengiyakan. Cuma pernyataan dan pembenaran. Toh, kita enyahkan itu dari pikiran sebab semangat bercerita terlalu menggebu.

Kopi sudah di tangan. Kita pegang bibir gelas karena kopi mengepul panas. Seperti orang berlomba balap karung kita cepat-cepat merogoh kantong celana. Meraba uang di dalamnya. Kita ingin jadi si pembayar kopi untuk yang lain. Tapi biasanya itu tidak pernah terjadi. Sebab, uang seribu dua ribumu tak cukup. Begitu juga punyaku. Dan, kita akan sibuk menghitung uang, saling menambal uang, supaya bisa cukup bayar kopi.

Aha, satu lagi yang pastinya harus ada di pembicaraan kita. Rokok! Saya akan periksa tas. Kalau si super merah itu tak ada, kita putar taman mencari tukang rokok. Kebanyakan saya yang beli rokok. Kamu tak beli karena rokokmu amat lokal, keluaran sebuah pabrik di Kebayoran Lama yang dijual di sebuah toko, dan dibeli beberapa orang fanatik. Kamu salah satu orang fanatik itu. Bisa kamu beli itu rokok 1 selop. Disimpan di dalam tas. Sehingga ketika 1 bungkus sudah habis, kamu tak khawatir sebab masih ada berpuluh-puluh batang rokok di dalam tasmu.

Taman sudah. Kopi dan rokok siap. Maka kita susuri taman, mencari tempat nyaman diduduki. Saya suka mencari tempat yang agak temaram. Kamu entah suka tempat seperti apa karena kamu lebih banyak mengiyakan apa yang saya ingini. Oh, satu lagi. Saya lebih suka, dan ini harus saya dapat, mencari tempat yang bisa disenderi. Bangku atau tembok atau patung. Apapun yang bisa disenderi. Saya lebih suka bercerita sambil menyender karena lebih rileks. Kamu tidak. Kamu lebih suka duduk bersila dan membungkukkan badan.

Mulailah kita bercerita tentang segala hal yang ingin kita ceritakan. Kadang kita selingi dengan diam. Mencari nafas di ingatan. Ketika sadar untuk kembali bercerita, mulai lagi kita berbicara. Kita ini macam manusia yang mau mengawani bulan. Kita tunggu bulan datang. Saat bulan sudah terbit, kita masih duduk bercerita. Dan, ketika bulan sudah pulang, kita masih di tempat yang sama. Haha, menggelikan.. Saya masih ingat ketika kita berlabuh di Taman Suropati duduk mengobrol tiada henti. Kita dikagetkan dua tiga orang yang berlari pagi mengitari taman. Di saat itulah kita baru tahu malam sudah hilang digantikan pagi.

Biar malam diganti pagi. Biar pagi pergi dan malam datang lagi. Biarkanlah mereka begitu. Sebab, kita tak punya kuasa mengubahnya. Tapi, cerita-cerita kita tak pernah datang dan pergi. Mereka mengalir hingga kita tak tahu wujudnya. Dia bisa jadi serpihan atau bongkahan. Bisa mengumpul atau menyebar. Entah. Kita hanya tahu cerita-cerita itu menguatkan saya, kamu, dan kita. Hingga hari ini, saat kita masih menikmati taman, kopi, rokok, dan lagi-lagi, cerita-cerita kita.

-sunter yang berangin cukup segar-

Sunday 5 June 2011

hujan bawa rindu

hujan datang di luar sana

suaranya menggelesak atap rumah

butirnya meresap ke pori-pori tanah

dia bawa angin bertiup dingin

saya di dalam

merindumu

setengah mati

sepenuh hati

hujan malam, sunter

Saturday 28 May 2011

melahap memori

Engkau kupuja sepanjang jalan. Saat kususuri tepi stasiun Cikini hingga ujung Jalan Diponegoro. Setiap langkah mengalir memori liar dari suatu waktu dan satu ruang itu. Tiga anak kecil yang baru pulang sekolah dan tertawa-tawa sepanjang jalan cuma jadi iklan. Setelah itu, memori liar itu datang lagi. Betapa senangnya saya ketika saya bisa menguasai memori itu. Saya bisa mengulang rupamu di satu kala, bisa meloncat ke kala lain. Malah bisa kuulangi beberapa kali adegan yang saya sukai. Saya tahu beberapa pejalan kaki menengok ke arah saya dengan mimik keheranan. Mungkin mereka menangkap senyum saya yang entah untuk siapa.

Untunglah saya masih sadar bahwa saya harus menyeberang jalan besar. Beberapa mobil melintas pelan, saya tekadkan diri untuk menyeberang. Ya, menyeberang jalan yang penuh kendaraan berjalan butuh tekad besar. Saya ciptakan tekad karena di dalamnya banyak kemungkinan. Bisa jadi saya selamat sampai di trotoar seberang, terserempet metromini, terkena asap dari knalpot bajaj yang hitam pekat, atau tertabrak. Setidaknya saya tahu tekad itu sebagai bentuk perjuangan saya melawan kematian. Juga untuk menyelamatkan memori di kepala saya.

Sampai di tepi jalan, sekali lagi, sebelum naik bus, saya kenang satu adegan yang saya sukai. Saya butuh memori itu terulang ketika saya berada di tempat luas. Tidak di bus yang bersekat di depan, belakang, dan samping kanan-kiri. Macam hidup ini cuma ada di kotak itu saja. Jadi, saya usahakan supaya akhir adegan itu selesai bersamaan dengan naiknya saya ke dalam bus. Dan, tepat selesai. Saya naik bus dengan langkah lega. Saya merasa seperti sutradara yang baru saja selesaikan naskahnya. Di dalam bus saya mencoba tidur setelah kasih ongkos ke kondektur. Tidur saya ditemani tembang pengamen jalanan. Ah, saya ini pengonsumsi besar memori liar.

mengundang kantuk

Beberapa minggu terakhir ini, termasuk malam ini, saya sulit tidur. Harus tunggu tertidur. Tidak bisa sengaja tidur. Padahal, saya sudah ciptakan kondisi yang bisa mengantar saya ke alam mimpi. Cuci bersih muka. Ganti baju. Pakai celana pendek. Balurkan minyak buru ke tangan, kaki, dan leher. Setel musik beralun lembut. Nyalakan kipas angin. Tapi cara itu tak berhasil. Saya coba pejamkan mata, tak juga pikiran ini berhenti memutar memori. Akhirnya saya ambil buku-sok-bijak-yang-membosankan kemudian membacanya. Belum juga tidur.

Selama berminggu-minggu itu saya cari cara biar bisa membuat mata ini lelah. Saya nyalakan notebook, duduk baca tulisan dari blog atau facebook atau website. Ternyata berhasil! Lama-lama mata ini pegal juga lihat huruf di layar terang. Kalau sudah terasa pegal, saya naik ke kasur, dan tak berapa lama sudah tidur. Tapi, cara ini butuh waktu kompromi 2-3 jam. Hmm.. mungkin lain waktu saya bisa dapat cari yang lebih ampuh biar kantuk datang lebih cepat.

Wednesday 11 May 2011

perkara besar buat wartawan kecil

Seorang kawan malam ini mengetik di kamar saya. Ia bilang redaktur di kantor minta ia bikin berita rencana komunitas yahudi di Jakarta merayakan peringatan hari lahir negara Israel. Kawan saya bilang itu rencana kontroversial karena kondisi masyarakat Indonesia yang masih menghitamkan Yahudi dan Israel. “Dan sekarang mau diadain acara begini. Bisa jadi rusuh. FPI mungkin aja nolak,” katanya. Saya tinggalkan dia di kamar, untuk wawancara via telepon dan mengetik berita.

Satu jam kemudian saya datang. Dia minta saya baca beritanya yang sudah jadi dan telah dikirim ke redaktur. Saya baca. Ada pernyataan anggota komunitas Yahudi, soal rencana perayaan. Ketua FPI Jakarta di paragraf selanjutnya, tentang FPI yang akan bubarkan acara. Juga ada orang MUI yang bilang sebaiknya jangan digelar acara itu. Kemudian di paragraf selanjutnya ada omongan 2 anggota DPR yang senada dengan orang MUI. Selesai baca kalimat terakhir saya benar-benar terkejut.

“Kok tulisanmu tidak berimbang begini? Kenapa ga wawancara orang yang berpihak dengan komunitas Yahudi?” Jawab kawan saya, “disuruh kantor. Ambil kutipan dari orang-orang itu.” Dan terjadilah perdebatan di antara kami. Saya menilai beritanya tidak berimbang, tidak mencerminkan kedamaian. Saya anggap ia penyebar kebencian. Dia bilang itu diminta redakturnya. “Tapi saya ga mau seperti itu. Saya mau berimbang, saya mau ada nilai kedamaian pluralisme di dalamnya,” tutur si kawan.

“Jadi, ketika kamu nulis berita tadi kamu memposisikan diri kamu sebagai apa? Sebagai wartawan media A yang disuruh redaktur nulis ini itu? Atau sebagai pribadimu? Kalau sebagai pribadimu harusnya kamu bisa tambah omongan orang yang sejalan sama komunitas Yahudi. Atau orang yang bisa kasih pendapat dari sudut pandang pluralisme,” kata saya.

“Ya, gimana. Saya disuruh begitu. Saya tahu kalau saya nulis omongan orang-orang dari sudut pandang pluralisme atau yang berpihak ke komunitas Yahudi, pasti dihapus orang kantor. Ya lebih baik tidak usah,” kata kawan saya. “Tapi kamu bisa perjuangkan apa yang ada di kepalamu lewat tulisan itu. Walau pada akhirnya dipotong,” jawab saya.

Buat saya, pandangan yang menunjukkan nilai pluralisme, perdamaian, hak-hak minoritas bisa ditunjukkan lewat tulisan. Sekecil apapun itu. Walau pada akhirnya cuma mampir sebentar di kepala redaktur karena kemudian dipotong. Setidaknya eksistensi penulis hadir di tulisannya. Tidak cuma maunya kantor atau maunya redaktur. Atau bisa saja kalimat-kalimat yang mengandung nilai itu diamini redaktur dan dinaikkan jadi berita, dibaca banyak orang.

“Saya tahu kantor saya pasti potong kalau saya nulis begitu. Jadi lebih baik ga usah,” kata si kawan. Dia diam. Lalu gusar. “Nurani saya menolak begitu. Saya ga benci Yahudi. Cuma kantor kan ikut pasar, ikut pandangan masyarakat,” katanya lagi. Lalu perdebatan kami berhenti. “Ya sudah, kalau kantor berkata begitu kita pekerja kecil begini mau berbuat apa. Kita dibayar karena disuruh kerjakan maunya mereka,” kata saya.

Saya senderkan tubuh di bantal besar. “Lalu apa gunanya media massa kalau begitu? Kalau cuma memelihara kebencian lewat berita-berita yang diproduksinya. Kapan masyarakat kita bisa melihat manusia bukan dari agama atau rasnya?” kata saya. Perkataan itu cuma gumaman buat diri sendiri. Mungkin juga buat dinding kamar yang seperti biasa tidak pernah kasih jawaban. Akhirnya kami hanya bisa menghibur diri dengan lagu Sugalih dari Iwan Fals. Ya, apa yang bisa kami harapkan dari wartawan-wartawan kecil seperti saya dan kawan saya di hadapan kantor yang punya kuasa besar?

Thursday 24 March 2011

Matahari Masih Bersinar, Kawan..

Keep rock, dude! *bergitar ala mbah surip di jembatan sarinah*

Manusia butuh bekerja. Tidak hanya untuk cari uang, melainkan – yang utama – eksistensi diri.


Malam sudah datang ketika saya berbincang dengan Intan sembari berjalan di halaman luas Senayan. Hari itu kami janjian bertemu di gramedia book fair. Intan cerita dia sudah melembekkan batasan pekerjaan yang ia lamar. Jadi, setelah keluar dari tempat kerjanya beberapa minggu lalu, Intan melamar ke banyak perusahaan. Tadinya, ia ingin sekali jadi PNS. Tapi semua lamarannya ditolak. Intan, seingat saya, dari awal lulus kuliah tak ingin bekerja di media massa, bank, dan perusahaan dengan jenis pekerjaan marketing.

Sekarang gue merasa ga berarti, ga punya apa-apa karena ga ada pekerjaan. Akhirnya gue melamar semua lowongan kerja,” katanya. Kalimat yang meluncur di jembatan penyeberangan itu tak saya tanggapi. Saya lihat raut wajahnya. Ada pahit di sana. Ia melamar ke perusahaan beridentitas jelas alias terkenal sampai tak beridentitas. Ada perusahaan marketing, ada pula perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Setelah beberapa hari keluar dari tempat kerjanya di sebuah restoran di Jakarta Selatan, Intan uring-uringan. Kerjanya hanya mengirim lamaran. Itu pun dibantu si kakak. Kakaknya mencari-cari lowongan pekerjaan via internet, dikumpulkan, dan dikirim ke Intan. Selebihnya, ia tidur di rumah. Ia pun sulit sekali diajak bertemu. Tapi, untunglah, Intan tak menyerah. Suatu hari dia bilang dia hendak kursus Bahasa Belanda. Dan, tak lama berselang, ia sudah jadi anggota kursus Bahasa Belanda di Erasmus Huis. Kalau tak salah 2 kali seminggu ia pergi ke sana.

Sampai sekarang Intan belum bekerja. Ia tengah mengurus bapaknya yang harus keluar-masuk rumah sakit. Kemarin, dia mengajak bertemu setelah ia interview di satu perusahaan di Bendungan Hilir. Dari isi SMS-nya ia nampak baik-baik saja. Semoga ia tetap punya semangat untuk cari pekerjaan yang ia inginkan. Sabtu besok saya ingin bertemu dengannya. Bercerita soal pekerjaan saya, juga pencarian pekerjaan Intan. Oiya, dan cerita-cerita kehidupan lainnya.


Monday 24 January 2011

sejenak tinggalkan Jakarta, ini yang saya mau !

Saya putuskan ke Indramayu, Jawa Barat, kemarin. Sudah lama, hampir 2 bulan mungkin, saya ingin ke luar Jakarta. Ingin meliput sesuatu yang menarik di luar ibukota, merasakan udara bersih, memandang langit cerah, berkawan dengan senyap, dan mengenal manusia lain di tempat berbeda.

Maka, pergilah saya ke Pasar Rebo kemarin pagi. Saya naik bus Luragung tujuan Kuningan. Di Eretan, 1 jam sebelum kota Indramayu, saya menapakkan kaki. Dan, segera bau amis ikan menyerang hidung saya. Ah, iya, ini dia yang saya cari ! Senangnya berada di luar Jakarta. Bahagianya saya menghindari kerutinan.

Bila di Jakarta saya mengetik berita di kantor, maka sekarang saya tengah mengirim berita dari warnet Double Click di kota Indramayu. Setelah setengah jam lalu saya turun dari becak yang mengantar saya dari hotel tempat saya bermalam. Ya, ini dia yang saya mau ! Pergi sendiri di tengah keasingan.

Ketika mengetik berita di warnet, sekarang ini, badan saya masih saja pegal. Sisa-sisa kelelahan ini masih menempel setelah saya berpusing-pusing di Desa Dukuh Kerupuk, dekat terminal Sindang. Juga sisa kecapaian sehabis mewawancarai pengusaha batik indramayu. Tapi saya tidak capai hati, karena ini yang saya cari ! Rasa lelah sehabis liputan. Juga kepuasan setelah berjalan kaki dan mewawancarai orang-orang.