Wednesday 11 May 2011

perkara besar buat wartawan kecil

Seorang kawan malam ini mengetik di kamar saya. Ia bilang redaktur di kantor minta ia bikin berita rencana komunitas yahudi di Jakarta merayakan peringatan hari lahir negara Israel. Kawan saya bilang itu rencana kontroversial karena kondisi masyarakat Indonesia yang masih menghitamkan Yahudi dan Israel. “Dan sekarang mau diadain acara begini. Bisa jadi rusuh. FPI mungkin aja nolak,” katanya. Saya tinggalkan dia di kamar, untuk wawancara via telepon dan mengetik berita.

Satu jam kemudian saya datang. Dia minta saya baca beritanya yang sudah jadi dan telah dikirim ke redaktur. Saya baca. Ada pernyataan anggota komunitas Yahudi, soal rencana perayaan. Ketua FPI Jakarta di paragraf selanjutnya, tentang FPI yang akan bubarkan acara. Juga ada orang MUI yang bilang sebaiknya jangan digelar acara itu. Kemudian di paragraf selanjutnya ada omongan 2 anggota DPR yang senada dengan orang MUI. Selesai baca kalimat terakhir saya benar-benar terkejut.

“Kok tulisanmu tidak berimbang begini? Kenapa ga wawancara orang yang berpihak dengan komunitas Yahudi?” Jawab kawan saya, “disuruh kantor. Ambil kutipan dari orang-orang itu.” Dan terjadilah perdebatan di antara kami. Saya menilai beritanya tidak berimbang, tidak mencerminkan kedamaian. Saya anggap ia penyebar kebencian. Dia bilang itu diminta redakturnya. “Tapi saya ga mau seperti itu. Saya mau berimbang, saya mau ada nilai kedamaian pluralisme di dalamnya,” tutur si kawan.

“Jadi, ketika kamu nulis berita tadi kamu memposisikan diri kamu sebagai apa? Sebagai wartawan media A yang disuruh redaktur nulis ini itu? Atau sebagai pribadimu? Kalau sebagai pribadimu harusnya kamu bisa tambah omongan orang yang sejalan sama komunitas Yahudi. Atau orang yang bisa kasih pendapat dari sudut pandang pluralisme,” kata saya.

“Ya, gimana. Saya disuruh begitu. Saya tahu kalau saya nulis omongan orang-orang dari sudut pandang pluralisme atau yang berpihak ke komunitas Yahudi, pasti dihapus orang kantor. Ya lebih baik tidak usah,” kata kawan saya. “Tapi kamu bisa perjuangkan apa yang ada di kepalamu lewat tulisan itu. Walau pada akhirnya dipotong,” jawab saya.

Buat saya, pandangan yang menunjukkan nilai pluralisme, perdamaian, hak-hak minoritas bisa ditunjukkan lewat tulisan. Sekecil apapun itu. Walau pada akhirnya cuma mampir sebentar di kepala redaktur karena kemudian dipotong. Setidaknya eksistensi penulis hadir di tulisannya. Tidak cuma maunya kantor atau maunya redaktur. Atau bisa saja kalimat-kalimat yang mengandung nilai itu diamini redaktur dan dinaikkan jadi berita, dibaca banyak orang.

“Saya tahu kantor saya pasti potong kalau saya nulis begitu. Jadi lebih baik ga usah,” kata si kawan. Dia diam. Lalu gusar. “Nurani saya menolak begitu. Saya ga benci Yahudi. Cuma kantor kan ikut pasar, ikut pandangan masyarakat,” katanya lagi. Lalu perdebatan kami berhenti. “Ya sudah, kalau kantor berkata begitu kita pekerja kecil begini mau berbuat apa. Kita dibayar karena disuruh kerjakan maunya mereka,” kata saya.

Saya senderkan tubuh di bantal besar. “Lalu apa gunanya media massa kalau begitu? Kalau cuma memelihara kebencian lewat berita-berita yang diproduksinya. Kapan masyarakat kita bisa melihat manusia bukan dari agama atau rasnya?” kata saya. Perkataan itu cuma gumaman buat diri sendiri. Mungkin juga buat dinding kamar yang seperti biasa tidak pernah kasih jawaban. Akhirnya kami hanya bisa menghibur diri dengan lagu Sugalih dari Iwan Fals. Ya, apa yang bisa kami harapkan dari wartawan-wartawan kecil seperti saya dan kawan saya di hadapan kantor yang punya kuasa besar?

No comments:

Post a Comment