Tuesday 14 December 2010


Ini OO, kura-kura saya. Dia berjenis radiata. Perempuan satu ini asalnya dari Madagaskar, satu negara pulau di Samudera Hindia sana. Masih balita dia, baru 10 bulan. Saya dapatkan dia dari seorang kawan amat-dekat. Si kawan ini sebenarnya membeli kura-kura itu untuk dijual ke kawan lain. Namun, ketika tahu saya suka ketika kali pertama melihat hewan reptil ini, ia langsung memberikan ke saya.

OO makan banyak saban hari. Kesukaannya sawi hijau dan selada. Seikat sawi hijau yang berisi 7 hingga 8 lembar sawi bisa dihabiskan sehari. Selada pun sama banyaknya. Pagi keesokan hari ia akan menghiasi lantai kamar saya dengan kotorannya, berjalan menyeret sisa kotoran, dan duduk di atas kertas memberi tanda ia sudah beres buang air besar. Saya cuma bisa mengumpat sambil memegang OO dengan gemas. Lantas, mencuci dan menyikat tubuhnya dengan sikat gigi kecil. Si kecil ini pun suka jilat remah-remah biskuit.

OO sekarang saya tinggal di kamar. Jalan-jalan saja kerjanya. Sesekali dia duduk lama, menggerakkan kepala ke kanan-kiri, entah melihat apa. Ini beda dengan dulu ketika saya baru mendapatkannya. Dulu, saya kerap membawanya ke tempat liputan. Biasa saya taruh di tempat kue bundar yang saya ambil dari lemari dapur rumah. Saya masukkan ke tas dan memberinya celah udara lewat resleting tas yang sedikit terbuka.

Rencananya, OO akan ikut kontes jalan cepat kura-kura bulan depan. Tak harus menang, OO. Yang penting kamu bisa bertemu kawan-kawan baru.



Malam dengan tak ada makanan untuk OO

semangat fatamorgana untuk tempat anda

Saban bangun pagi saya yakinkan diri untuk bersemangat ke tempat anda. Semangat yang didedikasikan untuk semangat. Dan, mulailah saya mandi, berpakaian, merapikan tas, dan melenggang ke tempat anda. Sampai di sana sana menyapa seorang manusia di bawah, kemudian jika ada sapa sedikit manusia yang saya temukan di tengah tangga. Lantas, saya berhadapan dengan pintu anda. Sejenak saya berdiri terpaku di depannya untuk merapikan semangat.

Saya buka pintu, melangkah, dan melewati beberapa manusia yang tampak sibuk. Sampai-sampai tak menoleh untuk mengatakan “hai” atau “selamat pagi” atau “apa kabar”.

Dan, sampailah saya di depan kursi yang sudah menjadi kursi-saya. Menekan tombol power pada CPU sampai menunggu layar komputer hidup. Tengok kiri-kanan, ada si manusia ini, ada manusia itu, ada manusia anu. Seperti biasa, semua manusia tampak sibuk di depan komputer. Kala layar monitor sudah menyala, mulailah saya menjadi manusia yang lakunya serupa dengan manusia lainnya.

Semangat masih ada, saudara-saudara. Ya, masih ada. Buktinya, jari-jari tangan saya sibuk menekan tuts keyboard. Terkadang saya sibuk dengan gagang telepon, bicara ini-itu, sambil garuk-garuk kepala. Semua berjalan seperti itu sampai tiga jam, lima jam, tujuh jam. Terus begitu. Sampai semua hal yang saya lakukan dinyatakan selesai. Dinyatakan oleh warna-warna di layar monitor.

Lagi, seperti biasa, saya sadari semangat itu sudah tiada. Semangat untuk dirinya sendiri, semangat untuk semangat. Lantas, saya berjalan keluar, melangkah gontai ke arah pintu sambil memegang botol minum yang airnya sudah tak ada. Selesai. Tugas saya selesai. Dan, manusia-manusia itu masih sibuk. Tak menoleh atau mendongak sedikit pun.

Keluar tempat anda saya bernafas lega karena saya tahu saya sudah menjadi manusia sesungguhnya dan akan bertemu manusia lain yang juga sesungguhnya. Bukan manusia di tempat anda yang sudah beridentitas robot.



Hari yang menjemukan usai keluar dari tempat anda.

Sunday 12 September 2010

Saudara-saudara, kita harus bertemu


Seorang kawan datang dari Bandung ke Jakarta. Entah sejak kapan. Katanya ia harus menjaga keponakan-keponakannya yang ditinggal para pengasuh yang harus mudik Lebaran. Maka, tercetuslah ide kami untuk berkumpul bersama kawan lainnya. Dengan niat menggebu, sejak pagi tadi saya mengirim sms ke empat kawan. Isinya mengajak bertemu untuk saling berbincang. Berbagi cerita kehidupan yang kami lewatkan berbulan-bulan lamanya.

Mulai jam 9 pagi jari-jari saya sibuk mengetik pesan singkat ke Munthe, Karina, Lusi, dan Intan. Tanggapannya sama, mau saja bertemu. Kecuali Karina yang tidak bisa ikut bertemu lantaran ibunya sakit. Baiklah, satu gugur.

Empat lainnya, termasuk saya, masih saling mengirim sms mengatur waktu dan tempat pertemuan. Waktu dipastikan sore jelang malam. Tempat bertemu tidak jelas. Ini karena posisi kami masing-masing tersebar: Munthe di Kuningan, saya di Kebayoran, Lusi di Utan Kayu, Intan entah di mana. Sampai jam 5 sore belum juga datang kabar kepastian waktu dan tempat. Hmm.. Jangan sampai pertemuan ini gagal, pikir saya. Harap-harap cemas saya nantikan jawaban mereka. Jam 6 sore Lusi tawarkan bertemu di Plaza Semanggi. Sayangnya, tawaran itu tidak cepat ditanggapi kawan lain, juga saya. Munthe bersedia saja datang ke mol di jalan Sudirman itu. Saya juga setuju. Intan belum juga berkabar.

Tak berapa lama, Lusi batalkan pertemuan karena dia harus cepat pulang. Dia harus cepat tidur karena harus masuk kerja jam 6 pagi esok. Ya baiklah, satu lagi gugur. Tinggal saya, Munthe, dan Intan. Kami masih saling kirim pesan menyampaikan posisi masing-masing. Kesepatakannya, bertemu di kawasan Blok M. Kawasan ini kami pilih karena tidak jauh dengan kos saya, rumah Intan, dan rumah opung Munthe. Selama di Jakarta Munthe berdiam di rumah opungnya, menjaga keponakan-keponakannya. Dan, ternyata ada kejutan berikutnya: turun hujan. Ini bukan hujan biasa, melainkan hujan disertai angin kencang dan petir yang terus bersahut-sahutan.

19.30 hujan masih mendera. 20.00 bertambah deras. 20.30 hujan belum juga pulang. Sms mulai berisi nada pesimis untuk bertemu. Dan betullah, pk 21.00 kami sepakat tidak bertemu. Huh, lagi-lagi tidak bisa berbagi cerita dengan kawan-kawan gila itu. Sampai di kos saya nyalakan musik dan tak sengaja melantun lagu Etalase milik Sore.

Semua sahabat yang pernah menghangatkan hidup
Satu persatu, menghilang…
Seiring waktu yang makin lama
Kian menua

Tapi kita coba kenangi semua,
Walau t’lah tiada
Bagai etalase jendela…

Tapi saya tidak mau kawan-kawan konyol itu menghilang dan menjadikan mereka sebagai pajangan di etalase. Secepatnya saya sambar handphone, mengetik pesan dan mengirimnya ke Munthe. Dia kabarkan akan pulang ke Bandung Rabu atau Kamis pekan ini. Saya sampaikan isi pesannya ke Intan sekaligus minta Intan atur pertemuan sebelum Munthe kembali ke Bandung. Harus dan harus kami bertemu. Jadi, tolong ya Intan bocah-bocah itu diatur agar kita bisa bertemu. Rindu kalian…


PS: Lus, maaf ya ente ga ada di foto itu. Tak punya saya foto kita berlima.


Kebayoran Lama

Friday 6 August 2010

Sampan dan Kereta Listrik Mampir di Kota Ambon


Orang Kota Ambon rupanya tidak begitu suka minum kopi. Buktinya, saat saya tanya ke toko oleh-oleh khas Ambon di Jalan Sangadji mereka tidak memiliki kopi khas Ambon. Malah si penjual menyarankan saya beli Indocafe Coffemix di minimart sebelah. Saya juga sempat bertanya dua warga Ambon mereka jawab biasa mengonsumsi Coffemix. Ketika saya ke kedai makan saya pesan kopi, si penjual menjawab tidak sediakan kopi. Dia malah bikinkan saya kopi Kapal Api.


Beralih ke kopi saya tanya ke penjual oleh-oleh merek teh yang biasa dibeli orang Kota Ambon. Katanya teh merek Sampan cukup digemari di ibukota Maluku itu. Mudah ditemui di minimart di seantero Kota Ambon. Segera saya bergerak menuju sebuah minimart dan menemukan kotak-kotak teh merek Sampan. Saya putar kotaknya ternyata itu teh diproduksi di Surabaya. Di sebelahnya berjejer teh merek Kereta Listrik. Lucu juga ada teh merek begini. Saya lihat di bagian bawah kotak, aha.. rupanya teh Kereta Listrik dibuat di Jakarta. He eh, saya terbang dari Jakarta ke Kota Ambon dan temukan teh keluaran Jakarta.


Pastinya tidak mungkin menemukan teh keluaran Ambon. Karena Kota Ambon yang biasa dilingkupi suhu 25˚ Celcius tidak mungkin ditanami daun teh yang biasa hidup pada suhu 16-25 derajat Celcius. Tak jadi heran saya, teh-teh di Kota Ambon beralamat di Jakarta dan Surabaya.


Sunday 18 July 2010

pada lalu






Baiklah manusia itu punya keterbatasan untuk memiliki tempat dan masa. Ia dikungkung menyeluruh sekaligus dibatasi bagian per bagian oleh ruang dan waktu. Baik, karena keterbatasan itu menjadikan manusia punya masa ruang dalam babak: lalu, kini, dan mendatang. Sekarang saya hidup di babak kini, dengan simpan memori babak lalu, dan harapan di babak mendatang.

Saat ini saya menghirup udara pagi subuh di Utan Kayu, Jakarta Timur. Sembari melayang ke lima tahun silam saat saya injak kaki kali pertama di kampus Unpad, Jatinangor. Saya hanya bisa melayang membawa pikiran dan jejak rasa. Dan saya perlu alat bantu untuk semakin menguatkan memori saya: foto.

Tidak terangkum semua memang kehidupan lalu di foto-foto ini. Namun, setidaknya ia membantu saya mengolah lagi masa lalu itu.

Sunday 20 June 2010

Senja saya di mana ?

Sudah lama saya tidak melihat senja. Kali terakhir, seingat saya, mmm.. aahhh lupa. Bukan senja lagi yang saya kawani. Kerap malam yang jadi teman saya. Saya rangkul malam ketika keluar dari kantor dengan rasa lelah yang teramat. Telusuri jalanan Jakarta sambil malam masih akrab di bahu saya. Sampai mengucapkan selamat tinggal kepada malam ketika pagi datang saat saya duduk di taman kota. Lantas, saya hadapi satu dua berkas sinar matahari yang lama-kelamaan menjadi siang terik di atas kepala. Dan, saya menghilang entah di gedung mana. Lalu, kembali hadapi malam.

Dan saya tersadar senja saya hilang.


mengawani malam di utan kayu

Friday 18 June 2010

Rumah Pohon


Beberapa hari belakangan ini saya membayangkan rumah pohon. Rumah kecil yang berdiri di dahan-dahan besar di dalam pohon rindang. Bayangan saya rumah pohon itu tidak begitu besar, 3x3 meter cukuplah. Nanti di dalamnya ada kasur, peti makanan, tumpukan buku, dan di pojok ada tiga botol bir dingin. Di sekeliling rumah ada teras kecil. Fungsinya tempat duduk untuk berbincang sembari minum-minum. Atau juga bisa untuk menyendiri, keluar sejenak dari realitas dan berefleksi.

Saya bayangkan diri saya duduk di teras itu sambil goyang-goyangkan kaki saya yang terjuntai. Saya pernah melakukan ini di atas dahan pohon besar sewaktu saya berusia 12 atau 13 tahun di Larantuka, Flores TImur. Waktu itu saya bermain dengan sepupu-sepupu yang tinggal di sana. Sampai kami temukan pohon besar yang dahannya menjulur horisontal sehingga kami dapat duduk di atasnya sambil menggoyang-goyangkan kaki. Menyenangkan.

Seingat saya rumah pohon pertama kali mampir di benak saya ketika saya SD kelas 3 atau 4. Saya dapat imajinasi rumah pohon dari buku Pippi berkaus kaki panjang karya Astrid Lindgren. Pippi ini berusia 9 atau 10 tahun yang tinggal di desa kecil, kalau tak salah ingat di Swedia sana. Pippi suka memakai kaus kaki panjang bergaris-garis. Perempuan berambut panjang berkuncir dua ini punya dua sahabat. Mereka selalu bertualang dan memperoleh banyak pengetahuan dari petualangannya itu. Saya lupa di bagian mana saya mendapati imajinasi Pippi duduk di dahan pohon. Mungkin saja rumah di atas pohon hanyalah imajinasi tambahan saya saja ketika baca buku itu.


Dan sampai saat ini saya masih ingat dengan imajinasi saya itu. Niat saya suatu hari saya bisa berdiam sejenak di sebuah rumah pohon. Yang sederhana. Asal saya bisa menikmatinya dengan orang terdekat saya. Biar kami bisa membagi kehidupan di antara sela-sela dedaunan.



Sunter, Juni 2010. sudah jam dua pagi rupanya.

Thursday 18 March 2010

dan saya bisa membaginya

Ini feature radio pertama saya di KBR68H: http://www.facebook.com/notes/saga-kbr68h/yustisia-mencari-keadilan/348105329914. Bagi saya perjalanan menelusuri kisah Yustisia amat menyenangkan. Walau, sebenarnya sulit dan mendebarkan. Dari sulit dapatkan narasumber, membujuk korban bercerita, sampai bolak-balik kantor polisi-pengadilan-kejaksaan. Dan mereka semua di Bekasi, yang jarak perjalanan naik bus dari rumah saya dua jam. Namun, dari segalanya yang paling berat ketika saya menulis ceritanya. Huh, sungguh berat. Karena saya harus membayangkan perempuan itu dipaksa, dipukul, dan diperkosa. Hampir saja saya katakan “tidak sanggup” ke editor feature di kantor. Tapi, tidak. Saya pikir saya harus menuliskannya, membaginya kepada siapa pun. Supaya jika ada perempuan yang dipaksa bersetubuh ia tidak tinggal diam. Ia harus berjuang menyeret pelaku pemerkosa ke jalur hukum hingga masuk bui.

Thursday 4 March 2010

kau terlalu apa adanya

Suatu malam di taman kota kita duduk bersama. Diawali sedikit basa-basi yang terlalu basi sampai kecewa saya padamu tak tertahan lagi. Lalu saya bunuh kecewa itu dengan berdiam diri, menikmati kopi dan hembusan rokok. Dan kau masih bercerita tentang segala aktivitas dan rasamu. Hanya soal dirimu. Sekali lagi, hanya dirimu. Sampai saya pikir kau hanya berkicau tak karuan untuk sumbang suara di malam itu.

Mungkin dua jam kemudian baru kita bicara serius. Di waktu itu saya luapkan segala kekecewaan saya padamu. Semuanya, hingga tak bersisa sedikit pun. Dan kau jawab “saya begini adanya.” Jawaban sama seperti sebulan lalu, empat bulan lalu, enam bulan lalu, setahun lalu. Oh, hidup begitu dinamis bung. Tapi kau bertahan dengan sikap dan sifat “keakuanmu”. Kau hanya ingin dimengerti. Kau terlalu apa adanya.

Kau tahu? Saat itu saya hampir meninjumu biar kau terjungkal, kepalamu terbentur tanah, dan kau sadar betapa saya kecewa setengah mati padamu. Namun, lagi-lagi kemengertian saya padamu mengalahkan emosi itu. Saya terlalu memahamimu sampai saya paham keakuanmu.

Saya malu padamu karena telah mengecewakanmu. Maaf.”

Itu kalimat yang kerap saya dengar, bung dari mulutmu. Dan kau ulangi lagi di malam itu. Tanpa ada solusi untuk ubah diri biar kecewa saya luntur. Tanpa ada pertanyaan apa mau saya.

Kau terlalu apa adanya.

Jadi, kita berbeda jalan saja. Saya belok.”

Raut wajahmu tak yakin saat mengucapkannya. Tapi kau ulangi sekal lagi dan sekali lagi. Kuhitung tiga kali kau mengucapkan kalimat itu. Dan jadilah demikian.

Lantas, kita akhiri pembicaraan dengan berjabat tangan dan lempar senyum.

Dan, malam ini saya teringat malam lalu di taman kota dan malam satu setengah tahun lalu. Ada kesamaan rupanya. Kita buka dan tutup perjalanan kita dengan manis.


Utan Kayu, malam ini.