Tuesday 7 April 2009

Kala Perut Hadapi Amplop

Semalam saya mengobrol dengan seorang kawan lewat Facebook. Dia wartawan di media online di Jakarta. Belum lama bekerja, baru saja masuk. Kawan saya itu bercerita dia dapat ‘amplop’ dari salah satu instansi pemerintahan di Jakarta, soal isu Situ Gintung. Entah apa di balik pemberian ‘amplop’ itu. Sebenarnya dia ingin kembalikan ‘amplop’ tersebut kepada si pemberi. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Dia kehabisan uang untuk ongkos liputan. Uang di kantongnya sudah habis terkuras. Belum lagi gajian masih jauh hari.
Pernah ia terima ‘amplop’, kemudian diserahkan kepada redakturnya. Saat itu uang di tangannya telah habis, maka ia gunakan uang itu untuk ongkos liputan dan biaya hidup. Ia bersepakat dengan redakturnya akan mengembalikan ‘amplop’ itu kepada si pemberi apabila kawan saya sudah punya uang lagi.
Ini kali kedua ia hadapi masalah yang sama. Kawan saya ingin sekali mengembalikan ‘amplop’ yang ia terima, tetapi ia tak cukup uang untuk ongkos liputan keesokan hari. Dia ingin nama media dan namanya bersih dari kata ‘penerima amplop’. Namun, di sisi lain ia tak punya uang lagi untuk makan dan ongkos liputan. Ia harus mempertahankan hidupnya dan media tempat ia bekerja. Setelah panjang lebar kami mengobrol, keluarlah satu putusan: ia akan bicarakan masalahnya dengan redakturnya.
Saya terkesima dengan ceritanya. Di tengah laparnya kawan saya itu masih memikirkan kelanjutan liputan-liputan buat tempatnya bekerja. Sudah dia kurang uang buat makan, dia masih harus putar otak untuk biaya transportasinya meliput. Mungkin hasil negosiasi kawan saya dengan redakturnya akan seperti kasus pertama. Ia pinjam ‘amplop’ itu untuk makan dan ongkos liputan. Mungkin juga ia kembalikan ke pemberi ‘amplop’, dan itu berarti ia cari pinjaman.
Sepulang dari warnet, cerita kawan saya masih bergelayut dalam pikiran. Ah, hidup itu ternyata rumit. Bukan masalah pikir perut kenyang saja, tapi juga sepotong idealisme.