Friday 18 September 2009

Ikan Cupang di Waktu Luang

Sunter, kurang lebih 15 tahun lalu. Banjir melanda. Dan saya senang bukan kepalang karena bisa mencari ikan di air yang meluap dari selokan. Ikannya kecil. Saya dan kawan-kawan memanggilnya ikan cupang. Yang saya tahu ikan di selokan, berwarna hitam dan ukurannya kecil, sudah pasti namanya ikan cupang. Selepas lonceng sekolah berbunyi pertanda berakhirnya waktu belajar saya dan kawan-kawan janjian bermain banjir dan mencari ikan.

Pulang sekolah dengan langkah berjinjit saya masuk ke dalam dapur rumah. Tengok kanan kiri tak terlihat seorang pun. Saya ambil saringan bulat yang biasanya dipakai mama saya untuk menyaring santan kelapa. Saya bawa saringan itu keluar rumah dan segera bergabung dengan kawan-kawan saya. Yang bawa saringan ternyata cuma saya. Lainnya bertangan kosong.

Akhirnya kami mulai misi pencarian ikan cupang. Dari selokan besar sampai selokan kecil. Dari jalan besar depan sekolah sampai jalan kecil depan mesjid. Saya dan kawan-kawan berlari-lari kecil mencari ikan cupang. Karena tak kunjung dapat akhirnya kami bagi dua tim. Satu tim berjaga di ujung selokan. Lainnya berjaga di ujung satunya. Seekor dua ekor kami dapat. Kemudian ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam plastik bekas es kacang hijau.

Ketika saya berada di depan selokan, saya lihat seekor ikan cupang berlari gesit. Segera saya ulurkan saringan santan di tangan saya untuk menahan laju ikan itu. Wow, berhasil! Saya tangkap dia dan saya gabungkan dengan ikan-ikan sejenisnya di plastik yang sama. Gairah saya untuk menangkap ikan meluap-luap. Sampai di selokan besar saya masih saja ingin tangkap ikan. Ouw, seekor ikan cupang lewat. Cepat-cepat saya ulurkan lagi saringan santan. Tapi ternyata ikan itu amat gesit.

Buktinya, saya kesulitan ikuti larinya. Yang terjadi malahan saringan santan terlempar begitu saja. Arus selokan membawanya membelok ke selokan yang lebih besar. Saya tak bisa mengejarnya. Saya hanya termenung memandang saringan santan milik mama saya. Sampai di rumah dengan membawa hasil beberapa ikan cupang yang saya dapatkan bukan pujian. Tapi kata-kata marah mama yang kesal saringan santannya saya hilangkan.

Setiap kali saya lihat ikan sampai sekarang saya selalu ingat peristiwa itu. Bermain di air banjir yang kotornya entah campuran dari mana. Dapat ikan cupang. Menghilangkan saringan santan. Basah kuyup karena terciprat air selokan. Tertawa-tawa bersama kawan. Saling dorong ke tepi selokan. Aahhh, senangnya saya punya masa itu. Sekaligus rindu punya waktu yang bisa saya pergunakan sesuka hati. Semoga esok hari atau dua hari lagi saya punya waktu untuk beli ikan cupang. Saya ingin merawatnya. Mengenang masa kecil saya yang punya banyak waktu luang.



Jelang Lebaran di Utan Kayu

Monday 7 September 2009

Perempuan Berstoking Hitam yang Kesal di Kedai Malam Itu

Perempuan itu masih saja duduk bertelekan lengan kanannya menatap lelaki bule di depannya. Bibirnya yang dilapisi gincu merah tua bergerak-gerak membincangkan sesuatu yang entah apa. Si perempuan sibuk mengoceh, si lelaki menyantap nasi rendangnya seolah tak peduli ada manusia di depan wajahnya. Mungkin karena tak digubris, si perempuan berganti jarak duduk. Ia duduk di sebelah kanan lelaki itu. Mulutnya masih sibuk bercetoleh dan matanya tampak menggoda. Ya, menggoda nakal. Namun, si lelaki tak memberi perhatian.
Sampai akhirnya si lelaki mengeluarkan dompet dari saku celana jinsnya. Ia hendak membayar harga nasi rendang yang habis dilahapnya. Melihat si lelaki memegang dompet yang terbuka, si perempuan segera memasukkan jari-jarinya untuk mengepit lembaran uang di dalamnya. Hap! Tidak kena. Si lelaki rupanya lebih lihai menangkap maksud si perempuan. Sekali dua kali tidak juga kena. Kali ketiga belum juga lembaran uang didapat. Dan, tak pernah si perempuan itu dapat lembaran uang dari si lelaki malam itu.
Lantas, si lelaki beranjak ke luar kedai. Ia menepi sejenak di luar kedai, mengeluarkan ponselnya, dan sibuk berkomat-kamit dengan ponselnya itu. Di dalam kedai si perempuan cemberut. Ada rona kesal di wajahnya. Ia kumpulkan serpihan keripik di atas meja di depannya kemudian meraupnya dengan kasar. Ia kunyah serpihan itu cepat-cepat seperti hendak menelan kekesalannya. Sampai masih tersisa dua serpihan keripik di bawah bibirnya.
Tubuhnya yang kurus itu bergerak tak tenang. Terkadang kakinya ia angkat ke atas kursi di depannya, tanpa peduli rok mininya tersingkap perlihatkan stocking hitam ketatnya. Lalu, ia turunkan lagi kedua kakinya. Menaruh wajahnya di atas meja. Kembali tegak lagi. Memandang ke arah luar kedai. Gerak-geriknya berhenti saat ia memandang tajam seseorang di sebelah mejanya. Setengah berteriak ia mengatai-ngatai lelaki itu.
“Apa yang kau lihat? Ada urusan apa saya dengan kamu sampai kamu melihat saya seperti itu?”
Si lelaki membalas, “Siapa yang melihatmu? Saya menonton televisi. Bukan melihatmu.”
“Nggak usah pura-pura. Saya tahu kamu lihat saya. Siapa sih kamu? Seenaknya saja mendengar dan melihat masalah orang lain. Dari tadi kan kamu perhatikan saya?”
“Loh, ngapain saya lihat kamu? Saya lihat tivi kok.”
“Nggak usah beralasan. Kalau saya lagi kerja di sini, terus kamu mau apa lihat saya begitu? Saya kerja, bukan santai-santai.”
Dan pertengkaran dimulai.
Karena tak juga mengaku, si perempuan berdiri di samping meja lelaki itu. Membungkukkan sedikit badannya dan berkata-kata dengan nada marah. Ia merasa tak nyaman dengan pandangan lelaki itu yang terus-menerus melihat ia dengan lelaki bule tadi. Sedangkan, si lelaki bersikukuh dia tidak melihat apa pun kecuali tayangan tivi yang bertengger dekat dapur.
Karyawan-karyawan kedai mendekati mereka. Ada yang menahan si perempuan. Ada pula yang mencoba menenangkan si lelaki. Selain karyawan ada juga beberapa lelaki bertubuh cukup besar mendekati. Mereka mengaku petugas keamanan di tempat itu. Pertengkaran semakin hebat. Hebat karena si perempuan terus-menerus memaki lelaki itu. Akhirnya si petugas keamanan meminta perempuan itu keluar dari kedai. Dengan tampang kesal si perempuan keluar kedai. Dengan langkah gontai ia berjalan entah ke mana. Ia terus berjalan sambil memegang kantong plastik putih berisi kue kaleng Khong Guan. Mungkin akan disimpannya sampai nanti Lebaran.


Sebuah malam di Utan Kayu