Sunday 3 July 2011

kita, taman, dan cerita

Sering kita duduk menyambut malam di taman-taman di ibukota. Entah siapa yang pertama kali mengajak. Cuma kata ‘taman’ yang terlontar dari mulut. Tak terlintas kedai kopi, mol, atau resto. Mungkin karena kita menganggap taman tempat terindah mengobrol yang dipayungi langit megah. Atau jangan-jangan kita menilai taman sebagai tempat publik yang mengandung privasi. Karena seperti itulah penggambaran diri kita.

Kau masih ingat apa yang pertama kali kita lakukan saat sampai di taman? Ya ya ya itu dia, mencari kopi hitam. Kopi instan yang diseduh air panas di dalam gelas plastik. Itu bukan kopi yang baik bagi tubuh kita karena ada zat-zat beracun yang keluar saat plastik terkena air panas. Saya pernah bilang begitu, bukan? Dan kamu mengangguk, mengiyakan. Cuma pernyataan dan pembenaran. Toh, kita enyahkan itu dari pikiran sebab semangat bercerita terlalu menggebu.

Kopi sudah di tangan. Kita pegang bibir gelas karena kopi mengepul panas. Seperti orang berlomba balap karung kita cepat-cepat merogoh kantong celana. Meraba uang di dalamnya. Kita ingin jadi si pembayar kopi untuk yang lain. Tapi biasanya itu tidak pernah terjadi. Sebab, uang seribu dua ribumu tak cukup. Begitu juga punyaku. Dan, kita akan sibuk menghitung uang, saling menambal uang, supaya bisa cukup bayar kopi.

Aha, satu lagi yang pastinya harus ada di pembicaraan kita. Rokok! Saya akan periksa tas. Kalau si super merah itu tak ada, kita putar taman mencari tukang rokok. Kebanyakan saya yang beli rokok. Kamu tak beli karena rokokmu amat lokal, keluaran sebuah pabrik di Kebayoran Lama yang dijual di sebuah toko, dan dibeli beberapa orang fanatik. Kamu salah satu orang fanatik itu. Bisa kamu beli itu rokok 1 selop. Disimpan di dalam tas. Sehingga ketika 1 bungkus sudah habis, kamu tak khawatir sebab masih ada berpuluh-puluh batang rokok di dalam tasmu.

Taman sudah. Kopi dan rokok siap. Maka kita susuri taman, mencari tempat nyaman diduduki. Saya suka mencari tempat yang agak temaram. Kamu entah suka tempat seperti apa karena kamu lebih banyak mengiyakan apa yang saya ingini. Oh, satu lagi. Saya lebih suka, dan ini harus saya dapat, mencari tempat yang bisa disenderi. Bangku atau tembok atau patung. Apapun yang bisa disenderi. Saya lebih suka bercerita sambil menyender karena lebih rileks. Kamu tidak. Kamu lebih suka duduk bersila dan membungkukkan badan.

Mulailah kita bercerita tentang segala hal yang ingin kita ceritakan. Kadang kita selingi dengan diam. Mencari nafas di ingatan. Ketika sadar untuk kembali bercerita, mulai lagi kita berbicara. Kita ini macam manusia yang mau mengawani bulan. Kita tunggu bulan datang. Saat bulan sudah terbit, kita masih duduk bercerita. Dan, ketika bulan sudah pulang, kita masih di tempat yang sama. Haha, menggelikan.. Saya masih ingat ketika kita berlabuh di Taman Suropati duduk mengobrol tiada henti. Kita dikagetkan dua tiga orang yang berlari pagi mengitari taman. Di saat itulah kita baru tahu malam sudah hilang digantikan pagi.

Biar malam diganti pagi. Biar pagi pergi dan malam datang lagi. Biarkanlah mereka begitu. Sebab, kita tak punya kuasa mengubahnya. Tapi, cerita-cerita kita tak pernah datang dan pergi. Mereka mengalir hingga kita tak tahu wujudnya. Dia bisa jadi serpihan atau bongkahan. Bisa mengumpul atau menyebar. Entah. Kita hanya tahu cerita-cerita itu menguatkan saya, kamu, dan kita. Hingga hari ini, saat kita masih menikmati taman, kopi, rokok, dan lagi-lagi, cerita-cerita kita.

-sunter yang berangin cukup segar-