Friday 3 July 2009

“Tidak ada yang berubah.”

Seperti biasa saya berdiri bergelantungan di bus 213 yang membawa saya ke Slipi. Pagi itu sama seperti pagi yang lalu. Masuk kawasan Menteng mata saya disodori berbagai spanduk publikasi capres dan cawapres. Ini topik paling ngetop di berbagai tivi saat ini. Dari tivi yang bermoto tivi pemilu sampai tivi dangdut.

Lagi-lagi mata saya menangkap wajah-wajah capres dan pasangannya yang tersenyum dan berkepala tegak. Di sampingnya kata-kata puja-puji tertera.

Belum sampai jejeran spanduk habis, seorang ibu di sebelah saya bertanya ke lelaki di hadapannya. Sepertinya keduanya berkawan.

“Kamu mau pilih siapa?”

“Nggak tau.”

“Ah semuanya janji-janji ya. Mau janjinya selangit ya saya begini aja, ngamen. Nggak berubah. Hehe...”

Dia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri. Orang di depannya ikut tersenyum. Sekadarnya saja. Saya tengok ibu di sebelah saya itu. Tubuhnya kurus, pendek. Sedikit kerut hiasi dahi dan pipinya. Di kepalanya bertengger topi pet. Tubuhnya berbalut kaos putih pudar dan celana hitam lusuh. Ada gitar di genggaman tangan kirinya. Belum lagi saya puas meliriknya, sebuah kalimat dari arah kanan tertangkap telinga saya.

“Hati menjerit dan meronta pada kekuasaan yang dulu dan sekarang. Tidak berubah, saudara-saudara.”

Meluncur kalimat itu dari mulut seorang pengamen yang baru saja menyanyi lagu entah apa. Kalimatnya mengagetkan saya. Seolah dua kalimat dari kanan dan kiri saya berbenturan tepat di depan saya.

“Tidak ada yang berubah.”

Benarkah tidak ada yang berubah? Benarkah mereka masih pegang gitar menyanyi dan keluar bus bawa dua tiga keping seratus rupiah walau si penguasa berganti rupa?


Utan Kayu, di malam yang sedih

1 comment:

  1. Sulit untuk mengubah kawan, karena kemiskinan telah menjadi proyek ...

    ReplyDelete