Friday 13 November 2009

kadang hidup butuh amplop, bung!


Sembari menyantap soto betawinya kawan saya bercerita hubungan pertemanan wartawan di tempatnya meliput, yang menurutnya banyak buruk sangka. Cerita dimulai dari terbentuknya dua kelompok wartawan yang kerap meliput di sebuah instansi pemerintah. Sekelompok wartawan mengaku dirinya bersih dari amplop dan idealis. Sedangkan, sekelompok yang lain mengaku dirinya tidak bersih dari amplop, ditambah pula kabar yang beredar hebat menyatakan mereka wartawan gampang dapat amplop. Jadilah begitu, ada dua kubu: “tolak amplop” dan “terima amplop”.

Kawan saya itu bercerita suatu sore lepas liputan ia pulang dibonceng wartawan “terima amplop”. Dalam perjalanan mereka membicarakan kondisi pertemanan antara kubu “tolak amplop” dan “terima amplop.” Kubu “tolak amplop” ini dipimpin seorang wartawan sebuah media massa besar. Ia yang merekrut wartawan-wartawan baru untuk masuk ke kubunya dan mendoktrin mereka agar tidak bergaul dengan para wartawan “terima amplop”. Begitu hebatnya doktrin itu sampai-sampai wartawan “tolak amplop” tidak mau berbicara dengan wartawan “terima amplop”, walau saling berhadapan sekalipun, di depan ketua kubu “terima amplop.” Namun, jika sang ketua tidak ada maka para wartawan itu akan saling bercerita. Kalau sang ketua datang segera saja perbincangan berhenti dan anggota kubu wartawan “tolak amplop” akan memisahkan diri.
Tidak sebatas pergaulan saja ternyata. Hingga mewawancarai narasumber pun perseteruan masih terjadi. Jika narasumber tengah dikerubungi banyak wartawan biasanya para wartawan itu akan melontarkan pertanyaan apapun yang ditangani narasumber. Suatu kali wartawan “terima amplop” bertanya kepada narasumber. Segera saja ketua wartawan “tolak amplop” mendelik ke arah wartawan-wartawan kubunya dan segeralah mereka mematikan alat perekam masing-masing dan berhenti mencatat. Sang ketua pun mengernyitkan dahi ke arah wartawan “tolak amplop” dan menilainya melontarkan pertanyaan bodoh.
Kali lain ada pemilihan ketua wartawan di instansi itu. Kandidat ketuanya ada dua, seorang dari kubu “tolak amplop” dan seorang lagi kubu “tolak amplop.” Dengan teriakan “dicari ketua yang bersih” sang ketua kubu “tolak amplop” segera mendekati para wartawan yang tidak masuk kubu mana pun untuk memilih kandidat “tolak amplop”. Saat proses pemilihan kedua kandidat itu setara jumlah pemilihnya. Akhirnya dibuatlah tahap akhir pemilihan. Sang ketua “tolak amplop” semakin gencar mendekati para wartawan netral untuk memilih wartawan bersih. Saking khawatirnya, sang ketua pun mengancam akan membeberkan rekaman percakapan antara kandidat ketua dari kubu “tolak amplop” dengan seseorang yang memberinya amplop, di depan para wartawan. Rekamannya sudah ia pegang, tinggal diputar kalau si kandidat wartawan “tolak amplop” itu menang. Di akhir pemilihan pemenangnya wartawan “tolak amplop”. Alhasil, rekaman itu tidak jadi dibunyikan.
Dalam perjalanan berkendara motor wartawan “terima amplop” bercerita kepada kawan saya. Ia bilang gajinya tidak cukup untuk menghidupi anak istrinya jika ia tak terima amplop. Intinya, ia butuh amplop. Penghasilannya 3,8 juta. Terima gaji langsung dipotong kredit rumah 1 juta. Satu juta lainnya untuk biaya tranportasi liputan, makan saat liputan, dan pulsa handphone. Sisanya, 1,8 juta untuk anak istri plus belanja makan plus tagihan listrik plus tagihan air dan plus plus lainnya.
“Nggak cukup 1,8 juta itu. Anak gue minum susunya kuat. Dalam sebulan bisa 200 ribuan gue keluar duit buat beli susu kaleng. Belum yang lain-lain,” kutip kawan saya.
“Gue emang terima amplop tapi gue ga memeras. Kalo dikasih ambil, ga dikasih yah ga apa,” kutip kawan saya lagi.
Ketika kutipan-kutipan itu selesai terlontar dari mulut kawan saya, kami terdiam, kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Saya bilang saya berlatar belakang jurnalistik yang berbalut idealisme jurnalistik, salah satunya tak terima amplop. Saya meyakini kuat doktrin itu. Namun, cerita itu membuat pandangan saya berubah. Doktrin itu menjadi usang, tak berlaku lagi, basi.
Apakah dapat dibenarkan si wartawan tolak amplop ketika di rumah si anak menangis minta susu? Belum lagi istri minta uang belanja dan uang segala tagihan?
Atau sebenarnya ini bukan perkara benar atau salah, bukan perkara etika?
Entah ini disebut masalah apa. Buat saya ini masalah perut. Tidak hanya perut si wartawan, tapi perut dua manusia lainnya yang tunggu makan. Seperti siang tadi saya lapar sangat dan saya keluarkan uang 12 ribu rupiah untuk bisa santap nasi rames. Ya, perut harus diisi ketika lapar. Buat energi untuk bisa kerja lagi. Dan saya bisa keluarkan uang sebanyak itu tanpa perlu memikirkan makan untuk anak suami saya misalnya. Saya tak perlu terima amplop karena saya tidak mau, kantor tidak mengizinkan, dan kondisi saya memungkinkan saya untuk bilang “cukup” atas penghasilan saya. Itu kondisi saya. Lantas, bagaimana dengan kondisi wartawan “terima amplop” itu? Kalau dia tidak terima amplop darimana duit untuk makannya saat liputan? Itu berarti dia tidak maka, tidak punya energi untuk liputan, tidak menghasilkan berita, ditegur kantor, dan bisa saja dipecat. Tidak bisa dikatakan sama, kan? Juga tidak bisa menghakimi “karena dia terima amplop dia bukan manusia idealis dan tak perlu berkawan dengannya”, bukan?

Huff... Cerita siang tadi masih saja menggantung dalam ingatan sampai transjakarta membawa saya menuju Utan Kayu. Dan ketika saya berhadapan dengan komputer kantor dan membagikannya di sini.

No comments:

Post a Comment