Monday 27 July 2009

Tawa Supir Angkot

Hari ini tidak ada yang sebahagia supir angkot trayek Kota-Tanjung Priuk. Loncatan tubuhnya tinggi melebihi tinggi mobil angkot. Teriakannya mengudara tembus redupnya malam. Juga giginya berkilat kena terpaan lampu jalanan.

“Itu dia busway. Ada sewa, sewa. Yihaa..,” teriaknya sambil meloncat di depan angkot.
Dia bahagia melihat transjakarta yang mampir di halte Pademangan. Sekejap mata pria beruban itu sudah berada di balik kemudinya. Menyalakan mesin mobil kemudian membakar rokok samsunya.

“Ayo naik naik, neng. Udah nggak ada lagi 27. Udah malem. Naik ini aja. Ayo, neng naik. Tar juga ada penumpang lain.”

Sebenarnya saya masih bisa setia menanti kopaja 27 yang melewati daerah rumah saya. Namun, entah mengapa saya turuti kemauan bapak supir angkot. Mungkin saya ingin merasakan kebahagiannya. Atau saya ingin membantunya malam ini dapatkan 2500 rupiah. Belum habis berpikir saya putuskan duduk di sebelahnya. Lima menit kemudian tiga penumpang masuk dan duduk di belakang kami.

“Oke, tariiiik.. Lumayan dapet 4,” ujarnya sambil bawakan angkot.

Saya tersenyum dengar kalimatnya. Senang mendengar dia dapat sewa, walau cuma empat manusia.
Angkot melaju tembus malam. Saya senang duduk di depan karena puas pandangi semua yang terbentang. Tidak banyak kendaraan lalu-lalang. Satu dua ojek motor parkir di pinggir jalan tunggu penumpang. Seorang perempuan berbaju hitam dengan potongan baju berdada rendah lagi berpelukan manja dengan pria berjaket kulit di atas trotoar.

“Ahey, asek,” teriak bapak supir angkot diikuti tawa penumpang belakang.

Saya ikut tertawa, ala kadarnya. Dan entah mengapa itu jadi semangat buat saya untuk bersyukur pada segala. Si bapak supir angkot itu pastinya juga lelah, seperti saya rasakan tubuh saya yang letih tak terkira. Namun ia tetap bahagia dengan segala yang ia dapatkan.

Friday 3 July 2009

“Tidak ada yang berubah.”

Seperti biasa saya berdiri bergelantungan di bus 213 yang membawa saya ke Slipi. Pagi itu sama seperti pagi yang lalu. Masuk kawasan Menteng mata saya disodori berbagai spanduk publikasi capres dan cawapres. Ini topik paling ngetop di berbagai tivi saat ini. Dari tivi yang bermoto tivi pemilu sampai tivi dangdut.

Lagi-lagi mata saya menangkap wajah-wajah capres dan pasangannya yang tersenyum dan berkepala tegak. Di sampingnya kata-kata puja-puji tertera.

Belum sampai jejeran spanduk habis, seorang ibu di sebelah saya bertanya ke lelaki di hadapannya. Sepertinya keduanya berkawan.

“Kamu mau pilih siapa?”

“Nggak tau.”

“Ah semuanya janji-janji ya. Mau janjinya selangit ya saya begini aja, ngamen. Nggak berubah. Hehe...”

Dia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri. Orang di depannya ikut tersenyum. Sekadarnya saja. Saya tengok ibu di sebelah saya itu. Tubuhnya kurus, pendek. Sedikit kerut hiasi dahi dan pipinya. Di kepalanya bertengger topi pet. Tubuhnya berbalut kaos putih pudar dan celana hitam lusuh. Ada gitar di genggaman tangan kirinya. Belum lagi saya puas meliriknya, sebuah kalimat dari arah kanan tertangkap telinga saya.

“Hati menjerit dan meronta pada kekuasaan yang dulu dan sekarang. Tidak berubah, saudara-saudara.”

Meluncur kalimat itu dari mulut seorang pengamen yang baru saja menyanyi lagu entah apa. Kalimatnya mengagetkan saya. Seolah dua kalimat dari kanan dan kiri saya berbenturan tepat di depan saya.

“Tidak ada yang berubah.”

Benarkah tidak ada yang berubah? Benarkah mereka masih pegang gitar menyanyi dan keluar bus bawa dua tiga keping seratus rupiah walau si penguasa berganti rupa?


Utan Kayu, di malam yang sedih