Thursday 19 March 2009

Manusia = Jabatan + Gaji + ...

Akhir-akhir ini saya kerap menemukan percakapan soal pekerjaan. Percakapan itu ada di mana-mana. Di kampus, kosan, rumah, tempat les, sampai di depan tukang somay yang bertengger di pinggir Jalan Salemba. Dan, percakapan ini selalu dimulai dengan kalimat tertuju kepada saya: sudah dapat kerja? Jawab saya: belum. Bukannya saya tidak mau bekerja, tetapi belum dapat pekerjaan.
Kalau saya sudah selesai menjawab, mulailah itu mengalir petuah-petuah sok bijak tentang pekerjaan, jabatan, gengsi perusahaan, sampai masa depan. Sampai-sampai ada seorang teman les yang mengarahkan supaya saya berposisi sebagai ini, kerja di perusahaan itu, dua tahun kemudian pindah ke perusahaan anu, kuliah S2, kerja dua tahun lagi. Kemudian ketika sudah punya tabungan banyak menikah, berumah tangga sambil meniti karir, punya anak, hidup bahagia, mati. Layaknya tuhan saja teman saya itu. Tuhan pun tidak menggariskan setiap orang harus seperti apa. Cuma usaha manusia yang berkuasa.

Kejengkelan saya tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa manusia yang bermukim di Jakarta yang saya temui sering bangga dengan jabatan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Seorang kawan bilang dia ingin bekerja di perusahaan Total atau Pertamina. Ingin jadi sekretaris direktur utama, katanya. Seorang kawan lain bertutur sudah bisa beli mobil dari besaran gajinya. Kalau mereka sudah mengobrol soal status pekerjaan dan nama besar perusahaan, bangganya setengah mati. Seperti tak sadar kalau mereka buruh yang diukur kemampuan dan kepintarannya dengan barang tak ”bernilai” bernama uang oleh sang pemilik modal.
Itu tak seberapa. Yang mengherankan saya betapa tak bijaknya mereka ketika menilai orang lain dari status pekerjaannya dan tempat mereka bekerja. Tak ketinggalan penghasilan yang diterima. Begitu rendahnya manusia ketika dilihat dari identitas-identitas pekerjaan, penampilan, dan gaya hidup konsumtifnya.
Sukses bagi beberapa kawan saya itu adalah tingginya jabatan, bekerja di perusahaan bonafit, berpenampilan modis, bisa beli mobil, punya apartemen, dan setiap minggu nonton di blitz. Aduhai, itulah harga seorang manusia. Saya benar-benar tidak mengerti sebegitu rendahnya manusia dihargai. Memanusiakan manusia memang tidak mudah. Mengapa manusia memandang manusia lain tidak dilihat dari tindakannya yang manusiawi, pikiran, dan hati nuraninya?

No comments:

Post a Comment