Thursday 19 March 2009

Saya Ikut Wisuda, Pak


Saya enggan sebenarnya datang ke wisuda. Cuma seremoni belaka, tidak lebih. Duduk, dengar ceramah rektor, berdiri bersalaman dengan rektor dan tali toga dipindahkan, duduk lagi, selesai. Setelah sidang skripsi saya tetap yakin untuk tidak datang ke wisuda, walaupun harus bayar Rp375.000,00 buat acara wisuda dan toga. Acara bayar-membayar beres saya pulang ke rumah. Di sana ibu saya bertanya soal wisuda. Saya jawab malas ikut. Bapak saya hanya anggukan kepala. Masalah selesai. Saya bebas dari pertanyaan bapak ibu saya.
Ketika saya hendak masuk ke kamar saya lihat foto-foto yang terpajang di dinding. Langkah berhenti. Ada tiga foto di situ. Di sudut kiri ada foto wisuda ibu saya. Ia tengah berjabat tangan dengan entah siapa. Bibirnya yang dilapisi gincu merah tersenyum senang. Sebelah fotonya terpampang foto kakak pertama saya. Seperti ibu, ia juga tersenyum saat berjabat tangan. Tubuhnya yang kurus terbungkus baju wisuda yang besar. Agak kedodoran.
Samping fotonya kakak kedua saya tampak riang berhadapan dengan rektor. pipinya yang bulat itu menggemaskan ketika ia tersenyum. Di sebelah fotonya tersisa sedikit dinding polos tak berhias. Saya tersentak. Mungkinkah itu dinding kosong ditujukan untuk foto wisuda saya? Saya tahu siapa yang meletakkan semua pigura itu. Pastilah bapak saya. Rasanya ia menghendaki foto anak-anaknya saat wisuda terpajang di dinding itu. Mungkin ada rasa bangga ketika tetangga atau saudara datang ke rumah dan mengagumi keempat anaknya lulus perguruan tinggi. Itu tanda keberhasilannya mendidik putri-putrinya.
Tak berapa lama saya berdiri di depan dinding berfoto itu, saya segera mengambil handphone dan menelepon seorang kawan. Saya nyatakan hendak ikut wisuda. Sungguh, tekad saya sudah bulat. Saya mau ikut wisuda. Bukan untuk terisinya pigura itu nanti, melainkan tanda hormat dan terimakasih buat bapak saya.

No comments:

Post a Comment