Sunday 19 October 2008

Dari Jatinangor Sampai Gudang Garam Merah

Pernah suatu kali saya nekat pulang ke Jakarta dari Jatinangor jam tujuh malam. Awalnya saya bimbang: pulang atau tidak pulang. Namun, mengingat uang di dompet tinggal Rp30.000,00 saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Tujuan saya pulang ke rumah minta uang ke orangtua untuk biaya hidup. Memang ada layanan berteknologi canggih ATM untuk mentransfer uang, tetapi ibu mengharuskan saya pulang.

Jam lima sore saya keluar dari kosan, menghampiri angkot coklat dan menaikinya. Ada setitik kebimbangan pada saat itu. Toh, saya tetap meneruskan perjalanan. Berhenti di pinggir jalan Cileunyi, saya tengok kanan kiri. Rupanya tidak ada seorang manusia pun yang saya kenal. Semua orang asing. Di situ saya menunggu bus Primajasa jurusan Lebak Bulus. Satu jam menanti, belum terlihat bus itu. Saya mulai merasa khawatir. Khawatir sampai di Jakarta kemalaman. Di sekitar saya, para kenek bus sudah berteriak-teriak. Ada pula yang berteriak di dekat telinga saya.

”Merak Merak!”

”Bandung, Bandung!

”Bogor, teh.. Bogor!”

Saya tidak mengindahkan mereka. Malas rasanya kalau harus menjawab pertanyaan mereka. Apalagi kalau sudah menjawab bahwa saya akan ke Jakarta, mereka tetap saja menyorongkan tubuhnya untuk meyakinkan saya bahwa tidak ada bus ke arah Jakarta.

Akhirnya, saya mengirim SMS ke teman. Saya menulis isi SMS panjang lebar soal sebuah majalah kampus. Yah, pokoknya saya membelokkan pikiran saya ke isi SMS, tidak mau memikirkan begitu berisiknya lingkungan sekitar saya.

Ternyata belum cukup satu jam saya harus menanti bus. Dua jam kemudian, barulah si Primajasa berbadan besar itu merayap ke pinggiran Cileunyi. Bergegas saya menaiki bus takut tidak kebagian tempat duduk. Beruntung ada sebuah kursi tak berisi. Saya merebahkan pantat dan melihat kondisi di dalam bus. Sekitar lima sampai enam penjual makanan tengah menjajakan jualannya.

Seorang bapak sibuk mengatur barang bawaannya ke atas laci di atas tempat duduk. Di samping saya, seorang pemuda tengah terlelap. Begitu pula sebagian besar penumpang. Sepertinya mereka kelelahan sehingga tidur menjadi santapan utama di dalam bus. Saya pun ikut memejamkan mata. Lelah harus berdiri menanti Primajasa.

Dua setengah jam kemudian, bus sudah memasuki kawasan Jakarta. Saya terbangun dan harus waspada supaya tidak melewati UKI, tempat saya turun. Sebelum bus berbelok ke arah Lebak Bulus, saya sudah berdiri di pinggir pintu bus. Bersama tiga orang lainnya, saya turun di persimpangan itu.

Untuk mendapatkan bus ke arah Tanjung Priok saya harus berjalan kaki kira-kira sejauh 300 meter. Jam sudah menunjukkan pk 21.00 WIB. Saya bergegas. Tiba-tiba dari belakang saya, ada seorang bapak berjas hitam mengikuti langkah saya.

”Neng, ayo sudah malam...”

Ia mengulang lagi.

”Ayo, neng sama abang pergi yuk.”

Langsung saja pada saat itu juga saya dihinggapi ketakutan. Ia terus membuntuti saya. Sampai di pinggir jalan pertengahan UKI, ia masih berdiri di dekat saya. Saya taksir ia berumur empat puluhan. Mungkin lebih. Masih saja ia mengajak saya pergi. Wah, orang ini sepertinya tidak beres, batin saya. Cuek saja saya berdiri di situ. Saya merasa agak aman melihat beberapa orang yang juga tengah menanti bus. Mungkin karena saya tidak mengindahkan bapak ”centil” itu, ia pun berlalu.

Berbagai jenis kendaraan begitu banyak memadati salah satu jalan utama Jakarta itu. Angkot-angkot merayap pelan mencari penumpang. Kenek-kenek bus berteriak-teriak memanggil penumpang. Di sisi jalan lain beberapa pemuda sedang asyik menyanyikan lagu entah apa. Di tengah jalan raya, seorang polisi sibuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan menggunakan sepotong tongkatnya. Ramai sekali. Belum lagi beberapa anak kecil mengamen dengan kecrekan di tangannya.

Saya lihat jam di handphone. Sudah jam 11 malam rupanya. Saya harus segera mengambil keputusan agar sampai di rumah dengan selamat. Ketika saya tengok ke arah belakang, ada bus ke arah terminal Senen. Setengah berlari saya menuju bus itu. Di dalam bus beberapa penumpang tengah tidur. Padat sekali penumpang di dalam bus tersebut. beginikah kehidupan di Jakarta sampai waktu tidur pun banyak orang masih berada di dalam bus? Heran saya melihat begitu banyak orang.

Di sebelah saya berdiri seorang pemuda tengah menikmati musik dari MP3-nya. Ia berambut gondrong dengan tatanan rambut rapi. Yah, setidaknya rambut itu tampak sudah disisir. Di depan saya, seorang perempuan dengan mata setengah mengantuk, berdiri sambil memperhatikan jalan raya. Bus melaju cukup kencang. Saya berniat turun di depan Atrium Senen, sebuah pusat perbelanjaan yang pernah menjadi korban pengeboman beberapa tahun lalu. Tak lama kemudian, bus sampai di perempatan Senen. Saya turun dan menyetop bajaj, sebuah kendaraan umum beroda tiga.

”Bang, Sunter Agung. Berapa?” tanya saya.

”Sunter Agung. Wah, jauh neng. Dua puluh ribu aja,” jawab si abang bajaj.

“Hah? Dua puluh ribu? Mahal amat. Lima belas ribu ya. Sudah biasa saya.”

Si abang bajaj terdiam sejenak. Akhirnya ia menganggukkan kepala. Saya pun naik ke dalam bajaj.

Di dalam bajaj, saya segera mengirim SMS kepada kakak saya. Isinya kira-kira begini: setengah jam lagi sampai di rumah, tolong siapkan uang Rp15.000,00 buat bayar bajaj. Saya tidak punya uang lagi untuk membayar bajaj. Jadi, mau tak mau saya harus minta keluarga untuk membayar jasa supir bajaj.

Bajaj yang saya tumpangi berlari cepat menembus kegelapan malam. Ia berbelok lincah seperti tak ada beban. Masuk ke kawasan Kemayoran yang sepi kendaraan, saya merasakan angin malam yang begitu kencang. Kelap-kelip lampu di pinggir jalan seolah menyambut kedatangan saya. Terus dan terus bajaj melaju. Dan sampailah di depan rumah saya di Sunter Agung.

Bapak saya telah menunggu ternyata. Ketika bajaj berhenti dekat tempat bapak berdiri, segera beliau menyodorkan lima belas ribu rupiah kepada supir bajaj.

”Terimakasih, pak anak saya sudah diantar pulang,” tutur bapak saya.

”Ya, pak. Sama-sama,” jawab supir bajaj.

Bajaj berlalu. Saya dan bapak saya bergegas masuk ke dalam rumah.

”Ada lagi model seperti itu. Tidak ada uang, sms orang rumah, minta bayar bajaj,” ujar bapak.

”Hehe...tidak ada lagi bus ke arah Sunter. Ya sudah, naik bajaj,” kata saya membela diri.

”Demi kamu bapak tidak jadi beli rokok.”

Ternyata uang untuk membayar supir bajaj tadi adalah uang beli rokok bapak saya. Yah, tak apa. Nanti saya belikan satu bungkus rokok Gudang Garam Merah pakai uang kakak saya. Bapak duduk melanjutkan bacaannya. Saya masuk ke kamar, berbaring, dan tertidur.

No comments:

Post a Comment