Sunday 19 October 2008

Setumpuk Koran di Pundaknya

Sosoknya yang ringkih terlihat dari tikungan SDN Kepatrian, samping Pagelaran Keraton. Seperti pagi seminggu lalu ia kenakan celana selutut dan kaos lusuh. Di tangan kirinya tergeletak setumpuk koran. Dialah Pak Pego. Nama aslinya Nga

Saban hari jam setengah enam pagi Pak Pego keluar dari rumahnya yang berada di belakang kios-kios batik di Pasar Ngasem. Dari rumahnya ia jalan kaki ke Tamansari ke arah keraton. Di sini ia duduk menunggu pembeli. Terkadang para penjual barang-barang khas Jogja yang menggelar dagangannya di sana turut membeli koran-koran dari Pak Pego.

Dari keraton ia berjalan lagi ke arah utara melewati Jalan Wijilan dan tembus ke Jalan Ibu Ruswo. Pelan-pelan ia berjalan sampai di depan pagelaran keraton. Mulutnya tak mengeluarkan suara sepanjang ia berjalan. Bila sudah berada di depan sekelompok orang ia akan menyodorkan koran-korannya. Penanda ia menawarkan dagangannya.

Pak Pego mengaku lahir pada 1924. Seingatnya, waktu masih cilik ia pernah ikut latihan menjadi tentara Jepang. Disuruh ikut latihan ia manut saja karena pada waktu itu ia tidak punya pilihan. Lagipula ia melihat teman-temannya ikut menjadi tentara Jepang. Ia pun turut berjuang di Ambarawa. Peristiwa Ambarawa yang ber. Sayang Pak Pego tidak bisa mengingat lagi pengalamannya dulu. Kadang saat ditanya ia diam sejenak lantas katakan “Lali.” Kemudian ia akan tertawa memamerkan mulutnya yang sudah tak bergigi. Ia tertawakan dirinya yang sudah lupa banyak hal.

Saat Soekarno menjadi presiden RI, Pak Pego menarik becak. Puluhan tahun ia menjadi pengayuh becak sampai 1990-an awal. Kakinya mulai terasa sakit dan nyeri. Akhirnya ia putuskan berhenti “mbecak” dan berjualan koran di Pasar Ngasem. Anaknya yang sudah dewasa membantunya berjualan. Kemudian mereka bagi tugas. Si anak berjualan koran dan rokok di pasar, si bapak jualan koran keliling.

Pak Pego tidak bisa baca tulis. Kalau ada orang yang hendak beli Bernas Jogja, misalnya, ia akan mencarinya dengan cara menghafal bentuk huruf dan warna. Saat orang tanya harga koran ia akan bilang “di situ berapa?” sambil menunjuk koran. Si calon pembeli menyebutkan harga yang tertera di koran dan Pak Pego mengangguk. Ada kemungkinan calon pembeli membohongi Pak Pego.

Ia juga tidak bisa menghitung uang. Ia hafal warna uang kertas dan bentuk uang logam. Semuanya ia serahkan kepada pembeli. Bila panah jam di tangannya menunjuk angka 1 ia akan berjalan kaki kembali ke rumah. Sampai di sana ia serahkan seluruh uang yang ada di kantongnya kepada anaknya. Ia tidak tahu berapa pendapatan penjualan koran dalam satu hari. Koran-koran yang tidak terjual ia kembalikan ke anaknya. Setelah itu ia makan dan tidur siang.

Keesokan paginya ia akan berjalan kaki lagi di rute yang sama. Cara menjualnya pun sama. Yang berbeda hanyalah para pembelinya. Begitu terus setiap hari. Pak Pego tidak pernah merasa bosan menjalankan pekerjaannya. Baginya hidup itu yang penting sehat dan jujur. Tidak lebih.

Jogjakarta, 21 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment